DUA PULUH DELAPAN

414 43 0
                                    

*****

Tulisan ini dibuat sambil senyum-senyum sendiri, membayangkan gimana rasanya jadi Bia.


Langkah kaki Bia terburu-buru menapaki jalan. Setelah turun dari ojek, ia berjalan mencari letak Kafe Origano. Bia membuka ponselnya, ia membuka pesan dari Kanya yang mengirimkan share lokasi. Di area itu ada berderet kafe dengan corak dan jenis yang sama sehingga Bia sulit membedakan satu dengan yang lain. Bia mendekati satu kafe yang terletak paling ujung, ia mendapati Pram sedang memarkir sepeda motornya. Kedua mata Bia berbinar, ingin rasanya ia menghampiri Pram, tapi kakinya seperti beku, enggan untuk berjalan. Bia membiarkan Pram memasuki kafe lebih dulu, lima menit setelahnya baru Bia melangkah.

Aroma kopi menyambut indera penciuman begitu Bia memasuki Kafe Origano. Bia mengedarkan pandangan menjelajah seisi kafe, lalu kedua matanya membulat begitu menemukan Kanya bersama teman-temannya sedang duduk di sudut kafe. Kanya melambaikan tangan, ini membuat dua orang yang tengah berbincang dengan Kanya ikut menoleh ke arah Bia. Cepat-cepat Bia menghampiri Kanya, Pram dan dua temannya.

"Halo..."

"Aloow, Bi. Cie barengan ya datangnya?"

"Haa?"

"Iya Pram, kalian datang bareng?"

Pram memandangi Bia sampai gadis itu benar-benar duduk dengan sempurna, baru beralih menatap Kanya lalu melemparnya dengan tisu.

"Sendirian lah."

"Tau gitu bareng kan. Deket juga kan kosnya."

"Kosnya aja yang deket. Catet!" ucap Pram.

Bia menyadari ada jarak besar antara dirinya dan Pram. Pram seolah sedang menciptakan ruang yang membuat canggung. Tak ingin membuat suasana tidak nyaman, Bia mengalihkan topik pembahasan.

"Jadi gimana rencanya, Nya."

"Oh iya, jadi gini. Eh kenalin dulu gih, temen aku."

"Hei, kamu-"

"Bia," Bia segera memberi tahu.

"Rendi."

"Halo aku Dino."

"Nah jadi Rendi sama Dino juga mau aku ajak buat acara besok, Bi." Kanya menerangkan.

"Aku nggak dikenalin nih," celetuk Pram.

Ingin sekali Bia menatap Pram, tapi kali ini ia memilih menunduk. Tangannya terkepal di paha, ia bingung harus melakukan apa. Bia mengalihkan pandangan pada Kanya, ia tak mau menatap Pram seperti yang biasa dilakukannya, takut tersesat padahal Bia hampir saja menemukan jalan keluar.

Pembahasan rencana surprise ulang tahun Bash akhirnya ditutup dengan saling high five. Kanya, Pram, Dino dan Rendi begitu antusias. Bia lebih banyak diam, selain job desk yang mudah, ia juga tak terlalu akrab dengan mereka. Jadi Bia sedikit kesulitan untuk masuk dalam circle obrolan mereka.

Sepuluh menit lalu, ponsel Bia berdering. Sebuah panggilan masuk dari Bash, terpaksa Bia menekan tombol merah untuk mereject panggilan telepon Bash. Di tengah-tengah obrolan, Bia mengirim pesan singkat, Bia mengatakan jika ia sedang berada di toko buku langganannya. Bash menawarkan untuk menjemput Bia, kendati sudah dilarang ia tetap bersikukuh. Alhasil, Bia terpaksa harus pamit usai meeting singkat itu berakhir. Ia harus pergi secepat mungkin, sebelum Bash tiba lebih dulu di toko buku yang Bia maksudkan. Karena jaraknya yang tak terlalu jauh, Bia berhasil sampai lima menit sebelum Bash tiba.

"Udahan cari bukunya?"

Bia mengangguk, ia menatap Bash yang terlihat rapi dengan kemeja flanel berwarna merah. Kuda sudut bibr Bia terangkat membuat sebuah lengkung bulan sabit. Bia merasa geli, ia merasa ada kupu-kupu yang sedang menari-nari di dadanya. Ada apa dengan Bia, mendadak ia salting, tiba-tiba ia teringat ucapan salah seorang temannya begini. Karena pada akhirnya yang istimewa akan kalah dengan yang selalu ada.

"Mau ke mana lagi?"

Bia mengendikkan bahu. Bash menyerahkan helm pada Bia, tak lama sepeda motor melaju menyisakan kepulan asap tipis di udara.

Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now