EMPAT BELAS

532 48 3
                                    

Sejak nama Pram tersimpan dalam kontak telepon, nyaris Bia tak pernah absen mengikuti segala aktivitas Mas Gantengnya itu. Bia seperti punya antena yang bisa menangkap sinyal akan sesuatu yang berhubungan dengan Mas Ganteng, nggak heran jika jemarinya begitu lihai menekan tombol pada layar ponselnya begitu muncul notifikasi baik dari whatsapp ataupun media sosial Mas Ganteng. Kini Bia mendapat julukan baru dari Elita dan Anggun. Bucin kasta tertinggi.

"Sampai kapan sih Bi mau jadi bucinnya Mas Ganteng?" ucap Elita sarkas.

"Idih sapa juga yang jadi bucin," balas Bia tak terima.

"Nah loh nggak nyadar nih bocah dah ngebucin. Kamu tuh dah jadi bucin kasta tertinggi, Bi."

"Whats? Kok bisa lho. Aku tuh nggak ngebucin zheyeng."

"Trus?"

"Namanya juga usaha."

Elita memutar bola matanya lantas menatap Bia kesal.

"Benar-benar miris," Elita dan Anggun saling berpandangan lalu dengan kompak menggelengkan kepala. Lagi-lagi mereka harus menyaksikan tingkah Bucin Bia, kali ini ia cengar-cengir sambil menatap layar ponselnya. Sesekali Bia mengumpat.

"Kamfretto!!"

Anggun menggeleng, " Situ sehat?" ia menatap Bia dan Elita bergantian. Kadang Anggun geram sendiri dengan Bia yang selama ini hanya jadi bucin tanpa status yang jelas.

"Terlalu lama jalan di tempat juga nggak enak kali, Bi."

"He to the lo, he-lo...Gini ya Nggun, di mana-mana yang namanya cewek pasti bisanya cuma nunggu. Masak iya mo nembak duluan?"

"Banyak kali Bi jaman sekarang cewek nembak duluan. Percuma dong RA Kartini mencetuskan emansipasi wanita." Elita menimpali.

"Yakali, mau sampai kapan nunggu? Inget ya, menunggu seseorang terlalu lama tanpa ada kepastian itu bisa disebut kebodohan akut."

Bia mendesah berat, matanya terpejam. Ponsel yang sedari tadi tak lepas dari genggaman kini digeletakkannya begitu saja. Diam-diam Bia memikirkan kembali apa yang baru saja terlontar dari mulut sahabatnya. Bia tersadar, ada benarnya juga yang dikatakan Anggun. Semua hal itu butuh kepastian, entah untuk memulai, mempertahankan atau melepaskan.

Untuk sesaat hening merajai ruangan kamar berukuran tiga kali empat itu. Bia, Elita dan Anggun berkelana dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba saja Bia beranjak dari kasur dan berlari ke kamar mandi.

"Ebuset tuh bocah, kebelet kali."

Dari kamar mandi terdengar gemercik air seperti sedang hujan. Sebuah pemandangan langka bagi Elita. " Bi, mandi?" Tak ada jawaban dari Bia, yang terdengar hanya suara kran air yang mengalir ke ember.

Cekrek, kompak Elita dan Anggun menatap Bia yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terbungkus handuk.

"Tumben jam segini dah mandi, biasanya kalo belum maghrib mana mau dia mandi."

"Guys, setelah berfikir panjang ternyata ada benernya juga apa yang Anggun bilang."

"Are you okay? Nglindur, Bi?" ucap Elita.

"Hais...dengerin deh. Sepertinya emang harus ada yang mulai."

"Lah, ke mana aja ni bocah. Aku kan dah bilang dari dulu, kalo nggak dimulai ya nggak bakal ada cerita. Situ aja yang nunda-nunda mulu buat mulai."

"Aku kan harus nunggu waktu yang tepat, zheyeng."

"Hais, waktu yang tepat untuk memulai itu sekarang, Bi. Kenapa coba?"

"Kenapa?"

"Lah, ditanya balik nanya." Bia hanya nyengir mempertontonkan giginya putihnya yang rapi.

"Kesempatan itu layaknya matahari terbit, jika terlalu lama menunggu bisa jadi kamu melewatkannya."

" Wih...Elita Teguh golden ways, " celetuk Bia.

*****

Setelah menimbang, memutuskan dan memahami dengan seksama, maka dengan penuh keyakinan Bia mantap untuk memulai pdkt dengan Mas Ganteng. Berbagai cara dilakukan Bia demi menarik perhatian Mas Ganteng. Bak minum obat, Bia rajin menyapa gebetannya itu tiap pagi, siang, malam. Tak segan Bia menunjukkan perhatiannya dengan kalimat bernada romantis.

Jangan lupa makan ya

Jaga kesehatan ya

Semangat hari ini

Have a nice day

Hampir dua pekan Bia menjalankan misi pdkt ini, namun sepertinya itu harus menelan pil pahit jika perhatiannya kurang mendapat sambutan baik. Jujur, dalam hati Bia sempat bimbang untuk melanjutkan pdkt ini, sebab tetap saja ia berjalan di tempat.

Sore itu bertepatan dengan malam minggu, kebetulan Bia sedang tidak mudik. Ia memutuskan hendak mengunjungi toko buku kesayangannya untuk berburu novel karya penulis favoritnya Pramoedya Ananta. Bia sudah bersiap dan hendak mengeluarkan sepeda motornya, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Bia merogoh tas kecil yang ia cangklongkan pada pundak. Bia tersipu, itu panggilan telepon yang selama ini ditunggu."

"Halo, Pram.."

"Lagi di mana, Bi?"

Bia berdeham dan berusaha mengatur nafas yang tiba-tiba menderu cepat.

"Eng-"

"Jalan yuk."

Deg, hati siapa coba yang nggak runtuh kala mendengar gebetan yang selama ini diidam-idamkan tiba-tiba ngajak jalan. "Aww..." Bia menampar pipinya sendiri untuk meyakinkan jika dirinya sedang tidak bermimpi.

"Gimana, Bi? Tapi kalo kamu ngg-"

"Bisa...bisa, nggak ada acara kok." Balas Bia cepat. Kali ini Bia sungguh tak ingin kehilangan momentum ini. Kapan lagi coba malming ngedate sama Mas Ganteng. Belum apa-apa Bia sudah merencanakan banyak hal, update status dan foto bareng salah satunya.

Tiga puluh menit Bia menunggu di teras, samar terdengar suara motor memasuki halaman, Debaran jantung Bia kian tak beraturan, bibirnya bergetar. Dengan suara parau, semanis mungkin Bia menyapa cogan yang kini berdiri di hadapannya itu.

"Hai..."

"Lama ya nunggunya?"

Iya lama banget, kamunya aja yang nggak peka

"Engg, nggak kok."

"Jalan ke mana Bi, enaknya?"

Ke mana aja asal sama kamu aku mau

"Serah kamu deh, Pram."

"Kebiasaan cewek pasti bilang terserah. Oke, keliling Semarang aja ya."

Balas Bia hanya dengan sebuah anggukan.

Bia tersenyum penuh kemenangan menatap Mas Ganteng yang mengenakan kacamata hitam dari kaca spion.

"Makasih lho, Pram dah ngajak jalan."

Mas Ganteng tak mendengar apa yang Bia katakan, ia terus melajukan motornya menembus jalanan kota Semarang yang mulai dipadati kendaraan saat akhir pekan. Setelah berkeliling tanpa tujuan, Mas Ganteng menghentikan sepeda motornya di sebuah tempat. Tampak dari luar bangunan terlihat seperti kafe.

"Isi bensin dulu."

Bia turun dari motor dengan sebuah tanda tanya, harusnya kan isi bensin ke pom bensin ya. Emang di sini ada yang jual bensin.

Bia dan Mas Ganteng berjalan beriringan memasuki kafe bernuansa klasik itu. Sengaja Mas Ganteng mengajak Bia duduk di ruangan terbuka yang terletak di balkon. Sebuah meja dengan dua kursi saling berhadapan lengkap dengan sebuah lilin. Dihiasi panorama kota Semarang pada malam hari yang mempertontonkan gemerlap lampu kota membuat suasana otomatis menjadi romantis.

Bia terduduk lemas, debaran jantungnya mulai tak normal. Pikirannya mulai merancau, ia memikirkan bagaimana merangkai kalimat seandainya malam ini Mas Ganteng nembak di tempat seromantis ini.

Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now