TUJUH BELAS

451 53 2
                                    

Bia sibuk menggigiti kukunya sambil bersembunyi di balik gerbang kosnya. Sudah dua kali ojek online yang dipesan melakukan cancel. Tak bisa disembunyikan wajahnya berubah menjadi pucat, keringat mulai bercucuran dari dahinya. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama ujian tengah semester, apes pagi tadi ia menemukan ban sepeda motornya kempes.

Lima belas menit Bia sibuk mencari tebengan, berkali-kali usahanya memesan ojek online juga tak berhasil. Apes sekali Bia kali ini, karena mengambil jadwal yang berbeda dengan Elita dan Anggun ia harus berangkat sendiri.

"Aduh please dong angkat."

Jemari Bia sibuk mencari nama-nama pada kontaknya yang bisa dihubungi, termasuk Mas Ganteng. Alih-alih menerima panggilan, nomor Mas Ganteng mendadak dialihkan. Bia mendengkus kesal. Tak kurang akal, Bia lantas mengirimkan broadcast pada teman-teman yang satu kampus dengannya.

"Kalo udah baca chat ini, plese help me. Aku mau UTS, ban motor aku bocor. Bisa minta tlong anterin ke kampus? Thanks before."

Bia berharap-harap cemas, tiap kali sepeda motor berhenti matanya berbinar penuh harap. Sayang hanya ada abang bubur ayam, tukang sayur keliling, dan ketoprak yang berhenti di depan kosnya.

"Masak iya nggak ada satu orang pun yang baca pesanku. Duh ngalamat ikut susulan nih." Bia menggerutu sambil terus mengamati jarum jam di pergelangan tangannya yang terus bergerak.

Terdengar suara sepeda motor mendekat dan tepat berhenti di depan gerbang kos. Bia berjengit, ia seperti menemukan oase di padang gurun sewaktu melihat seseorang yang duduk di atas sepeda motor.

"Bash..."

"Udah lama?"

Bia menggeleng, kedua matanya fokus menatap seseorang yang ada di hadapannya.

"Yuk naik, sebelum telat."

Cepat-cepat Bia naik ke motor dan memakai helm miliknya. Jarak kos Bia sampai kampus tak terlalu jauh, sekitar lima belas menit dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan keduanya terjebak dalam situasi yang canggung. Layaknya tukang ojek yang membonceng pelanggan, keduanya saling diam, sesekali Bia melirik kaca spion.

"Kok nggak pernah jawab kalau di telepon?"

"Ha?"

"Sibuk banget ya Bi, kalo ditelepon nggak pernah diangkat."

Bia terpaksa memajukan tubuhnya hingga dagunya tanpa sengaja menempel di bahu Bash agar suaranya terdengar. Diam-diam Baskara melirik dari kaca spion, tanpa sengaja tatapan mereka bertemu dan siapa sangka ini berhasil memberikan efek debaran yang menghasilkan euforia kecil pada keduanya.

Sepeda motor berhenti tepat di depan gedung Fakultas Bahasa dan Sastra, Bia turun dan melepaskan helm. Di lihatnya jarum jam yang melingkar di pergelangan, ia bernafas lega.

"Thank you, Bash. Untung nggak telat."

"You're welcome. Sini helm aku bawa."

"Nggak usah Bash, biar aku titipin ke pos satpam aja."

"Udah sini." Bash merebut helm itu dan Bia terlambat menghindar. "Nanti slese jam berapa?"

"Eng- aku pulang sendiri aja nggak pa-pa kok."

"Cuma nanya sih kamu slese kelas jam berapa, tapi kalo kamu mau aku jemput lagi juga nggak masalah."

Anjay, kan kan kesannya kayak aku yang minta jemput. Sial.

"Nggak usah repot-repot Bash. Nanti aku bisa naik ojol."

"Oke. Aku pergi ya, buruan masuk, good luck, ya."

"Iya, thanks ya, Bash."

Sepeda motor melaju lebih dulu, sedangkan Bia masih berdiri di posisinya sambil menahan senyum.

Ya ampun ada sih cowok baik gitu. Coba Mas Ganteng yang baca chat aku, pasti beda cerita.

Bia merogoh saku dan mengambil ponsel, dilihatnya daftar riwayat panggilan. Ternyata benar selama ini ia sering mengabaikan panggilan dan chat dari Baskara.

"Huft, selama ini aku terlalu sibuk mencari perhatian sampai lupa kalau ada yang diam-diam perhatian."


***********************************************************************************************

Hai hai hai....

Gimana sampai part ini?

Sepertinya Bia mulai galau, kira-kira apa yang terjadi setelah part ini?

Nantikan lanjutan kisahnya ya.


Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now