DUA PULUH ENAM

423 44 1
                                    


"Kamu di mana sih, Bi? Suara kamu kecil banget," cibir Kanya kesal karena sedari tadi suara Bia terputus-putus. Sekitar lima belas menit Kanya menunggu duduk di atas jok sepeda motornya yang terparkir di halaman kos Bia. Namun Bia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kanya sudah mencoba menanyakan pada penghuni kos lain, tapi tak ada yang tahu ke mana perginya Bia. Akhirnya Kanya memutuskan untuk menunggu sampai Bia balik ke kos.

"Halo, halo..Kanya?"

Sambungan telepon terputus menyisakan bunyi tut tut tut yang menggema di telinga. Baru saja Bia memasukkannya ke dalam tas, ponsel itu sudah berdering lagi. Kening Bia mengernyit, cepat-cepat ia meraih ponselnya. Dilihatnya nama yang tertera di sana, Elita.

"Elita, aku angkat bentar ya," ucapnya pada cowok yang berdiri di sampingnya.

"Kenapa, Lit?"

"Assalamualaikum."

"Iya waalaikumsalam."

"Nah gitu salam dulu kek."

"Iye-iye, kenapa?"

"Bi, kamu di mana sih? Masih lama baliknya?"

"Kunci kamar aku taruh di tempat biasa."

"Yee, kalo itu ma nggak usah tanya juga dah hafal, Bi."

"Trus ngapain nelpon kalo dah tahu?"

"Ditungguin tuh sama siapa namanya, Kanya Kanya itu."

"Hah siapa?"

"Kanya Kanya yang suka sama Pram itu, Bi."

"Kanya...?"

Reflek Bia menutup bibirnya dengan telapak tangan, kedua matanya mengedarkan pandangan pada Bash yang tengah asyik melihat-lihat sepatu futsal.

"Bentar lagi aku balik."

"Kamu di mana sih rame banget?"

Tut..tut..tut....Bia menutup sambungan telepon dan memasukkannya kembali dalam tas.

"Udah ketemu, Bash?"

Bash menggeleng-gelengkan kepala, ia masih terus menjelajah etalase yang berisi deretan sepatu futsal. Bia berjalan mengikuti Bash, ia menggigiti kuku dan menatap deretan sepatu dengan pikiran melayang-layang.

"Ini bagus nggak warnanya?"

Bash menoleh ke belakang, dilihatnya Bia tengah berdiri beberapa langkah di belakangnya sambil terus menggigiti kuku.

"Bagus yang itu ya, Bi?"

Bia mengikuti gerakan tangan Bash yang menunjuk sebuah sepatu yang persis di hadapan Bia.

"Aku dah punya yang warna itu. Kamu inget nggak, kan belinya juga sama kamu."

"Masak sih? Dah lupa,hehehe."

"Aku aja masih ingat kamu pakai baju warna apa saat itu."

"Serius? Ingatan kamu bagus juga."

"Serius, kapan coba aku nggak serius sama kamu."

Deg...

Bia membulatkan matanya, ia memutar ingatan pada hari itu. Hari di mana untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan Bash. Ternyata perkenalannya tak berhenti di hari itu, bahkan di hari-hari berikutnya disadari atau tidak Bash selalu ada di dalamnya meski hanya sebagai opsi bukan prioritas. You know lah siapa prioritas Bia selama ini. Bia memang masih menyandang predikat sebagai bucin, seberapa kecewanya Bia pada Mas Ganteng dia masih saja terus bertahan. Itu namanya apa coba. Setia?

"Balik sekarang? Atau kamu mau ke mana dulu?"

"Kan sepatunya kan-"

Bia menggantung ucapannya, ia tercengang begitu melihat Bash menarik pergelangan tangan Bia untuk mengikutinya berjalan keluar toko. Kali ini apa yang dilakukan Bash sukses membuat Bia mematung. Bia meneguk ludahnya sudah payah saat melihat tangannya sudah digenggam erat. Bia berusaha menarik tangannya, tapi Bash mempertahankannya genggamannya, bahkan lebih erat.

Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now