DUA PULUH TIGA

452 44 1
                                    


Kring!

Kring!

Bunyi notifikasi dari ponsel yang berulang kali membuat Bia terpaksa membuka mata sambil mengerang sebal. Bia meraih ponselnya, menebak-nebak siapa yang mengganggu waktu tidurnya. Sebuah pesan masuk dari Kanya.

"Buruan nyusul ke Heaven, aku lagi sama Pram."

"Oh my ghost!"

Sebuah teriakan melengking memenuhi ruangan kamar Bia. Kini ia tengah terduduk tegak di atas tempat tidurnya.

"Jam berapa sekarang? Kamu kok nggak bangunin aku sih, Lit." Bia beranjak dari tempat tidur lalu mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Sambil menggerutu ia masuk ke kamar mandi. Elita yang melihat tingkah temannya itu hanya bisa geleng-geleng.

Sekitar sepuluh menit Bia keluar dari kamar mandi. Ia menarik kursi tepat di depan cermin lalu memoles wajahnya dengan bedak, lipstik berwarna nude, dan mengikat rambutnya dengan bandana. Aroma cologne menguar ke seluruh ruangan dan memenuhi indera penciuman. Beberapa kali Elita bersin-bersin karenanya.

"Buru-buru banget, mo ke mana, Bi?"

Belum sampai Bia menjawab tiba-tiba ponselnya berdering nyaring.

"Kanya...?"

Bia mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas, baru saja Bia hendak menjawab panggilan Kanya, ponselnya berhenti berdering.

"Itu Kanya Kanya yang suka Pram, Bi?"

"Bukan."

"Oh beda?"

"Bukan suka Pram."

"Trus?"

"Lit, kamu mau di sini apa balik ke kamar? Kunci aku tinggal ya."

"Hem..."

Dengan buru-buru Bia meninggalkan Elita dengan rasa penasarannya. Ia cepat-cepat menuju Heaven yang jaraknya lumayan dekat dari kos. Bia berangkat naik ojek online yang sudah dipesannya. Sekitar lima belas menit kendaraan yang membawa Bia menepi, dan menurunkannya. Sebelum masuk Bia merapikan kembali rambutnya yang berantakan karena memakai helm.

Bia berjalan mendekati Kanya dan Pram yang sedang duduk di tempat tunggu pemesanan take-away. Bia menarik nafas dalam-dalam, ia merasa jantungnya berdetak kencang seiring langkahnya yang semakin dekat. Kanya melambaikan tangan sedang Pram mengembangkan sudut bibirnya kala menyadari kehadiran Bia.

"Hai say..."

"Kok duduk di sini?" tanya Bia.

"Niatnya mau nongki-nongki, tapi tiba-tiba mama nelpon katanya ada sepupu aku lagi main ke rumah. Disuruh balik deh."

"Mau balik sekarang?"

Bia menatap Kanya dengan ekspresi sebal. Apa coba maksudnya nyuruh datang, belum juga makan. Ah boro-boro makan, kasih nafas dulu dong habis panas-panasan masak iya langsung balik.

"Eh makananku dah jadi, kalian kalo nggak ada acara nongki-nongki aja dulu. Temenin Bia dulu lah Pram, kos kalian juga searah kan bisa balik bareng."

"Udah sana balik balik balik." Pram menyuruh Kanya cepat pergi. Dilihat dari nada bicaranya, Pram juga sepertinya kesal pada Kanya. Pram seolah tahu jika Kanya lah yang merencanakan ini untuknya.

"Dadah Pram, dah say. Have fun ya..."

"Sana sana nggak usah balik!"

"Hahaha..." Kanya tertawa puas sambil berlalu. Baru saja ia melangkah keluar, Bia mengejarnya.

"Nya..."

"Loh, Bi."

"Ih kok balik sih."

"Yakali aku jadi obat nyamuk."

"Nggak gitu juga, Nya. Tapi aku kan-"

Bia menggantung ucapannya begitu menyadari Mas Gantengnya ternyata menyusul mereka sampai ke luar.

"Ini malah ikut-ikutan keluar, yaudah aku cabs ya..."

"Buruan-buruan pergi sana!" seru Pram.

Bia dan Mas Ganteng masih berdiri di depan Kafe Heaven menyaksikan mobil Kanya semakin jauh dan menghilang. Keduanya nampak canggung dan bingung harus melakukan apa setelah ini.

"Mau ke dalam lagi?" ucap Bia.

"Ngikut, ke dalam ayok, balik juga ayok."

"Cabut aja gimana, Bi?"

Bia mengangguk tanda mengiyakan meski dalam hatinya ia masih ingin berlama-lama di sana.

Bucin Kasta TertinggiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt