DUA PULUH TUJUH

426 43 1
                                    

Mendadak hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota yang dipadati lalu lalang kendaraan. Jalanan semakin sepi, orang-orang memilih untuk berlindung karena hujan semakin lebat. Bia mendongakkan kepalanya, ia bisa merasakan guyuran air hujan yang membasahinya. Bash menepi, ia memarkir sepeda motornya di sebuah ruko yang sudah dipadati pengendara lain yang juga berteduh.

"Tunggu agak reda dulu."

Bia mengangguk pasrah, ia berdiri memandangi hujan yang turun semakin deras. Saking derasnya ponselnya yang sedari tadi berdering tersamarkan suaranya. Bash mengeluaran ponsel dari dalam saku, beberapa detik setelahnya ia melepas jaket yang ia pakai dan menyodorkannya untuk Bia.

"Lima menit lagi drivernya datang, kamu balik duluan aja."

"Nggak pa-pa, nunggu sampai reda aja."

"Hujannya buatan cina ini Bi, jadinya awet. Kamu duluan aja, lagian aku cuma bawa jas hujan egois, nggak bisa buat barengan."

"Tapi kan..."

Bash menarik tangan Bia untuk menerima jaket yang baru saja ia lepas.

"Pakai aja. Jaketnya emang nggak akan buat dinginnya hilang, tapi setidaknya kamu bisa merasakan hangat sampai tujuan.

*****

Kalimat-kalimat itu terus menggema di pikiran Bia, belum lagi perlakuan Bash beberapa waktu terakhir yang membuatnya berandai-andai. Tubuh Bia membeku, ia hanya diam tak melakukan apa pun. Tiga detik berikutnya, mobil sudah menepi tepat di depan kos Bia.

"Makasih ya, Pak."

Mendung masih bergelayut manja, rintik hujan kembali mengguyur tubuhnya yang mulai menggigil. Bia memasuki halaman kos, langkahnya terhenti begitu melihat Kanya masih ada di sana.

"Nya..."

"Astojim say, kemenong sih. Hampir sejam aku jadi patung di sini."

"Kok di luar sih. Yuk masuk."

Bia berjalan menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya di lantai dua, Kanya mengikutinya dari belakang.

"Masuk, Nya."

"Kamu dari mana sih? Ditelepon juga susah."

"Sorry, Nya. Tadi sinyalnya susah."

Bia menggelung rambutnya yang basah dengan handuk lalu menghampiri Kanya yang duduk di tepi tempat tidurnya.

"Kayaknya ada yang penting nih sampai kamu nungguin lama di sini."

"Yuhu. Aku mau minta tolong nih."

"Gimana gimana?"

"Ehm, lihat..." Kanya menunjukkan kalender di ponselnya, ia memasang alarm pengingat ulang tahun Bash yang jatuh tiga hari lagi.

"Bash ultah?"

Kanya mengangguk. Kedua matanya berbinar, ia berantusias mengatakan pada Bia.

"Jadi ceritanya aku mau kasih surprise buat Bash."

"Terus?"

"Kemarin aku dah bilang sama Pram, kalau masih mau pakai cara tahun lalu dijamin gagal."

"Kok bisa?"

"Pram tuh, dia yang gagalin. Dia gagal bawa Bash ke tempat yang udah kita siapin gegara Bash tau kalo dia bakal dikerjain."

"Oh..."

"Nah ini nggak jauh beda sama tahun kemarin sih skenarionya."

"Trus tugasku apa, Nya?"

"Kamu tugasnya nyari kado buat Bash."

"HAH?"

"Hahaha nggak usah kaget gitu lah. Becanda becanda, tugas kamu sama tugasnya Pram tahun lalu. Cukup bawa Bash ke tempat yang udah disiapin."

"Ow..."

"Gimana, Bi?"

"Ehm...oke deh."

"Btw kamu mau minum apa, Nya?"

"Apa aja deh."

"Aku turun bentar ya ambil minuman ke kulkas."

Bia meninggalkan Kanya seorang diri di kamar. Kedua bola mata Kanya menjelajah seisi ruangan, ia melihat-lihat galeri foto yang berjajar rapi memenuhi dinding kamar Bia hingga pandangannya berlabuh pada sebuah jaket denim biru muda yang tergeletak di atas meja.

Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now