DUA PULUH SATU

436 46 1
                                    

Bia duduk di Kafe Rinjani sembari mengaduk-ngaduk minumannya dengan sedotan, matanya tertuju ke pintu menunggu kedatangan seseorang. Hampir setengah jam Bia menunggu, akhirnya ia bernafas lega. Kanya muncul dengan kaos hitam dan celana jeans yang robek pada bagian lutut dan pahanya. Bia melambaikan tangan ke arah Kanya. Begitu tatapan mereka bertemu, Kanya mendekat. Aroma parfum vanilla menyeruak memenuhi indera penciuman Bia tepat ketika Kanya menarik kursi di hadapannya.

"Aduh, maaf-maaf say. Nganter mama kondangan dulu tadi." Bia hanya tersenyum, ia terus memperhatikan Kanya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sekarang ia mulai paham kenapa Mas Ganteng betah berlama-lama dengan Kanya. Cantik, sexy, menarik.

"Kamu dah pesen minum, say?" Lagi-lagi Bia hanya mengangguk, ia masih terpana pada Kanya yang duduk di hadapannya. Kanya duduk menyilangkan kaki jenjangnya. Bia terus mengamati tiap gerakan Kanya, cewek itu mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai lalu menggelungnya ke atas.

Bia menelan ludah. "Kenapa tiba-tiba ngajak ketemuan, Nya?"

"Kenapa, Bi? Aneh ya,haha."

"Nggak sih, Cuma-"

"Btw, kamu malming gini nggak diapelin?"

Bia nyengir tak berdosa, ia malah balik bertanya. "Kamu kali yang diapelin."

"Pengennya, tapi nggak ada yang ngapelin,huhuhu."

"Pram nggak pulang deh keknya," ucap Bia sarkas.

"Ember..."

Obrolan mereka harus terpotong saat seorang waitress mengantarkan minuman Kanya, ice green tea latte.

"Makasih, Mas."

"Ntar, ntar, ntar. Kok Pram, Hayo...."

Bia mati kutu, ia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain ia tak ingin terlihat seperti orang yang sedang penasaran akan kedekatan Kanya dan Pram.

"Anak FE ma gitu, Bi. Semua deket. Aku, Pram, Bash, itu satu geng di kelas. Mesti kamu ngira aku ada apa-apa ya sama Pram?"

Bia menggeleng-geleng, ia sendiri sulit mendeskrpsikan maksud ia menggeleng itu jawaban ya atau tidak. Tapi itulah faktanya, Bia memang mengira selama ini Kanya ada apa-apa sama Pram."

"Kamu suka Pram ya?"

"Hayo ngaku..."

Bia mati kutu. Pertanyaan Kanya seperti skakmat bagi Bia. Diam-diam Bia sudah mempersiapkan berbagai kemungkinan seandainya sesuatu yang buruk terjadi. Seperti Kanya yang tiba-tiba melabraknya, atau ancaman agar tidak dekat-dekat Pram. Bia sudah mempersiapkan hatinya untuk itu, bahkan sejak beberapa hari lalu usai Kanya menghubunginya.

"Mau aku comblangin sama, Pram?"

Bia mendongak, tatapan mereka bertemu. Dilihat dari ekspresi Kanya, tak ada sedikit pun ekspresi marah. Justru sebaliknya, Kanya terlihat berantusias. Kedua matanya berbinar.

Nggak nggak nggak, nggak boleh lengah. Ini jebakan Bia. Jangan sampai terpancing.

Kalimat-kalimat itu terus berseliweran di kepala Bia, ia merasa dilema. Tidak mungkin Kanya menanyakan tentang hal ini jika nggak ada maksud lain. Ujug-ujug, mak bedhunduk ngajak ketemu terus nawarin buat jadi mak comblang sama Mas Ganteng. Hello situ sehat.

"Yey bengong. Santai kali, Bi." Kanya melipat kedua tangannya ditaruh di depan dada. Kedua matanya yang berlapis softlens menjelajah seisi kafe, lalu memandang Bia.

"Gimana?"

"Apanya?"

"Halah, Bi. Aku tuh dah temenan sama Pram. Dia sering kok curhat ke aku."

"Emang Pram curhat apa?"

"Kan..kan...mau tau aja apa tau banget?" Kanya tertawa sambil geleng-geleng melihat tingkah Bia yang malu-malu.

"Eh, btw kamu tadi mau bilang apa, Nya?"

"Bilang apa?"

"Kan kamu belum jadi bilang mau minta tolong apa. Kok malah jadi ngebahas Pram."

"Tapi suka kan?" Ledek Kanya. Bia mendesah berat seraya menggeleng-geleng melihat Kanya yang sedari tadi merecokinya.

"Ehm, Bi. Kamu kenal Bash kan?"

"Huum."

"Maksudnya, kamu itu lebih kenal sama Bash dari pada Pram kan?"

"Nggak juga sih, nggak dekat juga sama dua-duanya."

Bia menggigit bibir bawahnya, kini gantian ia yang memperhatikan Kanya. Cewek itu terlihat kebingungan merangkai kalimat. Bia mulai menangkap ada geliat salting pada Kanya.

"Kan kamu dekat sama dua-duanya. Kalian kan sekelas, satu geng juga."

"Kamu percaya nggak say, kalo aku suka salah satu diantara mereka?"

"Percaya..." Bia menjawab cepat.

"Pasti Pram?" Satu alis Kanya terangkat, ia menatap Bia lekat-lekat.

"BIG NO!"

"Bash?"

Bia mendongakkan kepala, menatap Kanya yang duduk di hadapannya dengan bingung.

Bucin Kasta TertinggiWhere stories live. Discover now