🏸 FRAGILE - 03 🏸

1.3K 89 17
                                    

FRAGILE
[M.R.A]
----------

A]----------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Sesuai ucapan Rian kemarin malam, tepat jam tujuh malam, dia pergi untuk menjemput Fira. Alasannya satu, mau menyelesaikan semuanya dengan cewek itu.

Rian sengaja memilih resto sebagai tempat mereka membicarakan semuanya. Sejak tadi, Fira menggigit bibir bawahnya karena takut kalau nantinya Rian akan marah. Ngomong-ngomong, resto yang dipilih Rian ini adalah milik Devina. Sayangnya, Rian tidak tahu.

"Dek, kenapa sih kamu kaya gini?"

"Aku minta maaf, Kak."

"Kakak udah maafin kamu. Kakak gak butuh permintaan maaf, Kakak cuma butuh penjelasan dari kamu sekarang." Tatapan teduh dari Rian membuat Fira menjadi sedikit tenang.

"Ira sayang sama Kak Rian. Ira juga suka sama Kak Rian dari dulu. Perasaan itu makin besar semenjak Kak Rian selalu kasih perhatian ke Ira. Mulai dari situ, Ira punya rencana buat pura-pura sakit dan meninggal. Ira cuma mau tau reaksi Kak Rian aja." Fira menundukkan kepalanya.

"Fira. Kakak itu udah anggap kamu kaya saudara Kakak sendiri. Soal perhatian? Itu cuma bentuk rasa sayang seorang Kakak ke Adeknya, gak lebih. Kakak minta maaf karena udah bikin kamu salah paham. Kamu itu udah kaya saudara Kakak sendiri, Fir. Kakak gak mau hubungan kita lebih dari itu. Ngerti?"

Fira sudah menebak bisa menebak jawaban Rian. Ini salahnya yang terlalu berharap. Jadi, bukan salah Rian kalau dia sakit hati nantinya. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Fira harus ikhlas, dan menganggap Rian seperti apa cowok itu menganggap dirinya.

"Kakak gak usah minta maaf. Ini salah Ira. Ira yang terlalu berharap sama Kakak tapi, kita masih bisa kaya dulu lagi, kan?" Fira menatap Rian takut-takut.

"Haha lucu banget kamu, Ra. Ya iyalah kita masih bisa kaya dulu. Kakak kangen sama sifat kamu yang manja bin gemesin." Rian mencubit kedua pipi Fira sambil sedikit tertawa.

"Kak Rian, sakit!" pekik Fira. Cowok itu semakin tertawa lebar. Melihat tingkah Rian yang semakin menjadi-jadi, Fira mengambil tempat tisu di depannya dan menimpuk Rian 2 kali.

"Aww! Iya-iya Kakak minta maaf. Haha!" tanpa sadar, ada dua pasang mata yang tengah menatap mereka di depan sana. Apa tatapan itu bisa diartikan sebagi tatapan cemburu? Maybe.

Seseorang yang tengah menatap mereka lekat itu adalah Devina. Sudah lama dia menunggu Rian untuk kembali ke hidupnya. Sekarang, dia sudah kembali tapi dengan cara yang Devina saja tidak pernah memikirkannya. Mencoba untuk positif thingking, itulah yang sedang Devina lakukan. Mungkin saja itu sahabat baru Rian di Jakarta.

"Bos, disamperin dong jangan bengong mulu di sini. Jadi cewek juga harus gercep biar cowoknya gak diambil orang," kata Diva.

"Biarin aja deh, gak suka ganggu orang yang lagi bahagia," jawab Devina. Demi mengalihkan pandangannya dan juga melupakan perasaannya, Devina membantu Diva membersihkan meja kasir.

"Bos, ini nih yang namanya takdir. Sekarang samperin aja, daripada entar gak bisa ketemu lagi, hayooo." Ucapan Meli ada benarnya juga tapi Devina tidak ingin kalau nantinya dia menjadi perusak antara Rian dan cewek yang dia tidak ketahui statusnya itu.

Saat tengah asik mendengar curhatan Fira, Rian melihat ke arah meja kasir yang berada tidak jauh dari tempatnya sekarang. "Devina?"

"Devina? Devina siapa, Kak?"

"Ah, enggak mungkin."

"Kak Rian, ih! Jawab, Devina siapa?" geram Fira.

"Eh, maaf Fir. Itu, Devina sahabat Kakak di Jogja. Semenjak Kakak ke Jakarta, kita putus komunikasi. Kakak gak tau gimana kabar dia sampai sekarang. Dan itu, cewek yang ada di meja kasir, mirip banget sama Devina tapi Kakak gak yakin kalau itu dia."

"Gak ada salahnya buat Kakak samperin dia. Kesempatan gak datang dua kali. Belum tentu besok-besok Kak Rian bisa ketemu lagi sama Kak Devina. Udah ah, samperin sana."

"Tapi ..." Fira menatap Rian tajam. Cowok itu akhirnya mengalah dan berjalan ke meja kasir.

"Dev, Mas Jombang glowing jalan ke sini," kata Diva. Devina mencoba tidak peduli karena menurutnya, tidak mungkin jika Rian menghampirinya.

"Permisi," Devina terdiam. Dia sangat mengenal suara itu. Suara yang selalu membuatnya tenang saat hatinya tengah gelisah.

"Ini Rian Ardianto, kan?" tanya Diva. Hanya basa-basi sebenarnya. Tangan kirinya sibuk menoel-noel lengan Devina yang berada di dekatnya.

"Iya. Saya boleh pinjem temennya, gak? Mau ngobrol sebentar," balas Rian.

"Aduuh kalau itu boleh banget. Kalau bisa bawa sampe pelaminan, Mas. Oh iya, dihibur juga temen saya ini, soalnya dia lagi sakit hati." Devina tercengang mendengar jawaban Diva. Kenapa juga tubuhnya tidak bisa digerakkan. Sangat kaku rasanya bahkan hanya untuk menoleh.

"Kalau bisa, saya gak bawa dia ke pelaminan aja, tapi ke surga juga nanti," jawab Rian.

"Aduuh bosqu, udah ada lampu hijau lho, ini. Ikut gih, kesempatan gak datang dua kali." Diva mendorong tubuh Devina untuk keluar dari meja kasir tapi cewek itu hanya bisa diam dan menunduk sekarang.

"Ini Mas, temen saya. Satu lagi, dia lagi butuh belaian kasih sayang." Devina tidak berani berbicara. Dia hanya bisa melapalkan sumpah serapahnya di dalam hati. Setelah Diva pergi ...

Bruukk!

Rian memeluk Devina. Ini benar-benar di luar dugaan. Untungnya di jam-jam seperti ini tidak banyak pengunjung yang datang. Ingin sekali Devina berteriak tapi dia masih ingat tempat sekarang. Tanpa menunggu lama lagi, Devina membalas pelukan hangat dari Rian. Sudah lama dia menunggu hal ini terulang kembali.

"Cha."

"Ian." Tanpa sengaja, mereka memanggil satu sama lain secara bersamaan.

📎

'Tuhan memang selalu adil pada makhluknya. Jika doa kita tulus dan ikhlas, pasti semua akan dikabulkan. Jadi, jangan pernah berhenti untuk berdoa sampai kapan pun itu.'

- FRAGILE -
  [De - An]

📎

FRAGILE Where stories live. Discover now