Pencakar langit

94.7K 11.6K 696
                                    


"Ajegile, ini tempat kerja atau hotel bintang lima?" gumam Bondan mengamati gedung pencakar langit di depan matanya.

Bukan hanya Bondan yang berdecak kagum, semua karyawan yang baru melihat bangunan perusahaan itu ikut terkagum-kagum. Bahkan beberapa di antaranya ada yang mengabadikan momen dengan selfie memperlihatkan bangunan itu sebagai background. Hari ini adalah hari istimewa bagi mereka. Tentu saja istimewa, berawal dari menjadi karyawan di perusahaan kecil saja mereka sudah sangat bersyukur dan hari ini mereka resmi bekerja di salah satu cabang perusahaan terbesar di Indonesia. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya lulusan sarjana seperti mereka dapat diterima bekerja di perusahaan itu. Hanya ada satu orang yang terlihat gelisah dan tidak bahagia seperti yang lainnya.

Adel merapatkan diri dibalik tubuh Bondan. Sesekali ia melihat sekelilingnya, berharap keberadaannya tidak terlalu mencolok. Sudah dua hari ini Adel uring-uringan dan semua ini berkat ucapan Jack saat mengantarnya pulang. Padahal sudah dua hari pula Jack tidak menampakkan diri, tapi pria itu tetap berhasil membuat Adel gelisah.

Ingin sekali rasanya Adel berhenti bekerja demi menghindari pria berbahaya itu, tetapi Adel sadar mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Alhasil ia hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa kini gedung tempatnya bekerja sama dengan Jack. Bukan hanya itu kini gadis itu resmi bekerja dibawah pimpinan pria bernama Marchelino Feraz Harianto yang tiga hari lalu mengancamnya untuk bertanggung jawab karena pria itu terlanjur mememiliki perasaan lebih untuknya. Tubuh Adel yang saat itu sedang demam semakin panas saja, bahkan hingga sekarang jika mengingat kejadian itu pipi Adel akan memerah. Adel tidak tahu harus berbuat apa jika sampai bertemu dan bertatap muka langsung dengannya.

"Katanya perusahaan besar, kenapa gedungnya harus jadi satu semua? Bukannya kebanyakan cabang perusahaan beda gedung?"

Bondan yang sejak tadi masih terkagum-kagum jadi menoleh, menatap sinis Adel yang baru saja melontarkan pertanyaan itu.

"Kalau dia punya gedung sebesar ini, kenapa harus dipisah-pisah?" Bondan mengedikkan bahu, "Kalau gue punya gedung sebesar ini, gue juga bakalan buat perusahaan jadi satu. Malah kalau perlu bagian belakang gedung ini gue bangun kebun binatang. Biar karyawan macem Riadi bisa langsung gue buang ke sana kalau berani macem-macem."

Melihat Adel gelisah, Bondan tidak tahan menyeletuk, "Dari dua hari yang lalu lo aneh banget, gelisah macem cacing di perut gue."

"Gara-gara siapa gue kayak gini?" Adel memukul pelan lengan Bondan, "Harusnya gue pulang sendiri."

"Oh, dibaperin lo? Bondan mengulum senyum membalas tatapan tajam Adel, "Gue cuma bermaksud bantu, lagian lo sakit waktu itu. Sementara gue enggak bawa mobil, nah, kebetulan dia kirim gue pesan buat anter lo pulang. Gue sendiri heran dari mana dia dapet nomor gue."

"Yang ada gue makin sakit bukannya sembuh," gerutu Adel, "Lo tahu sendiri gue enggak mau lihat muka dia lagi. Sebenernya lo temen gue apa temen dia, sih?"

Bondan mengerutkan kening berpikir, "Hmm.. temen lo."

"Nah, itu lo tahu."

"Karena gue temen lo makanya gue bantu dia," Bondan mendorong pelan kening Adel dengan jari telunjuk, "Gue udah bilang tahun ini lo bakalan di lamar. Sebagai teman yang baik gue berusaha supaya ucapan gue nggak jadi omong kosong."

"Dia udah punya cewek."

Adel dan Bondan refleks melirik Fion yang baru saja memasukkan ponsel ke dalam kantung celana. Sejak tadi pria itu sibuk mengambir gambar dan mengirimkan ke istrinya di rumah. Istrinya memang sedikit possessive sejak hamil, terlebih wanita itu tahu suaminya pernah mencintai seorang karyawan di tempat kerjanya.

Sesuai Titik, Ya?  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang