[21]. our worst decisions.

3.7K 460 224
                                    

"Kalau kau benar-benar ingin pergi, tolong bohongi saja aku. Bilang kau akan kembali besok. Bilang 'sampai jumpa, aku akan menemuimu lagi esok hari.' ayo bohong saja, bilang kalau kau bercanda sayang..hiks,"

Matanya tak dapat fokus. Meski setiap pijakan adalah dunia tanpa udara, Jimin memaksa tetap berjalan kemana garis takdir membawanya. Melewati pria bongsor yang telah bersimbah luka, berlutut kalah dan meremas surainya kalap.

Jungkook tampak keluar dari batasnya, bukan dirinya. Pria itu menarik dan menghembuskan napasnya dengan panik. Satu emosi mulai berkecamuk dengan yang lain. Mengaduk-aduk isi hatinya. Sebagian besar diduduki rasa kecewa dan amarah menyaksikan Jimin yang berani membentang jarak darinya.

Betapa menyesal Jungkook mendorong Jimin dan terlalu larut dalam sakit hatinya. Karena kini tiba saatnya Jimin benar-benar memberikan ruang yang pernah dia damba, saat itu pula Jungkook baru menyadari dia telah salah menyangka.

Jungkook melupakan sumber kehidupan untuknya. Jungkook melewatkan fakta bahwa Jimin adalah semua yang dia butuhkan tak peduli apapun kondisinya. Kenyataan mengatakan Jungkook perlu Jimin sekeras apapun dia menyangkalnya.

"JIMIN-AH?!"

Jimin menggeleng pada dirinya sendiri. Walau daya kakinya nyaris patah, keputusannya telah bulat, mustahil diganggu gugat. Setidaknya itu yang dia pikirkan sampai suara pecahan membuat sekujur tubuhnya meremang hebat.

Prang!!

Ketika berbalik, langitnya runtuh. Pemandangan yang tertangkap bukanlah tandingan untuk keberaniannya. Jimin terpaku beberapa detik, hawa di ruangan itu mendadak panas dan menyesakkan. Jungkook menatap ke arahnya, salah satu foto keluarga yang tadinya masih terpajang di atas meja telah hancur berantakan diantara kaki Jungkook.

Jungkook bersimpuh, tetes-tetes air terjun dari matanya begitu mudah. Ekspresi yang terperangkap di wajahnya memancar kesakitan, kening berkerut dalam, paras pias dan dua sisi alis yang bertemu menahan rasa ingin mengerang.

"J-Jung--"

"ARGH?!!! KAU BUKAN JIMIN!! KAU BUKAN JIMIN!! HIKS LEBIH BAIK AKU MATI!!"

"Jungkook-ah!--"

"JIMIN TIDAK AKAN MENINGGALKANKU SENDIRIAN. HIKS, KEMBALIKAN JIMINKU?!"

Teriakan histerisnya mengundang rasa ketakutan yang menguras logika, serpihan yang berserakan di sekelilingnya membuat pikiran Jimin berhenti bekerja. Tubuhnya sulit difungsikan seperti biasa.

Semua yang terjadi di sekitarnya seperti melambat, terutama denyut jantungnya. Nalar mengetuk kepala, Jimin berlari kalut mendekati Jungkook yang kalap. Terpampang layaknya selembar kertas yang rentan. Mata sipitnya melebar ketika Jungkook tiba-tiba menggapai salah satu retakan kaca yang cukup besar.

"..MATI! BIARKAN AKU MATI?!"

"J-Jungkook-ah?! Jeon Jungkook!!"

Tangan kecilnya menahan tangan Jungkook yang mencengkram belahan kaca dengan ujung runcing tersebut. Namun Jimin terdorong keras. Dia terperangah mendapati gurat yang luar biasa terluka mendominasi wajah sang suami.

Sekujur tubuh pria itu bergetar hebat menanggapi trauma. Sebelum terlambat, Jimin kembali mengapit tubuh Jungkook dari belakang. Ikut membungkus kaca itu di tangan mungilnya sekencang mungkin.

Jungkook-ssi, My Love! [Kookmin] Book IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang