[12]. pick up the phone.

3.1K 477 88
                                    

Baiklah. Dia keterlaluan dan egois, Jimin lapang dada mengakuinya. Tapi Jimin begitu kecewa. Salah satu alasannya adalah Jungkook tampak tak sependapat dengannya dan Hani benar-benar ingin keluarga aslinya.

Seolah Jimin hanya berjuang sendiri. Menurut sudut pandangnya Jungkook terlalu santai dan tak terusik untuk orangtua yang baru saja terancam posisinya, untuk fakta bahwa orangtua kandung Hani sudah kembali dan mengincar putri mereka.

Sementara itu, Jungkook hanya bisa menatapi punggung si mungil di ujung kasur. Setelah pengakuan Hani, jelas sekali Jimin enggan melihat ataupun berada di dekatnya.

Ah bagaimana mengatakannya? Jungkook punya pendapat tersendiri, meski sama tak relanya dengan Jimin, dia pikir Hani patut diberi kesempatan untuk menentukan apa maunya.

"Jimin-ah?"

Tak ada sahutan. Jungkook berpikir keras, tapi jalannya berakhir buntu. Anggap saja Jimin juga berhak kesal padanya. Namun Jungkook tidak sesantai yang Jimin kira.

Justru perasaannya bergejolak seperti riak air di kolam yang awalnya tenang kemudian berombak semenjak kejadian beberapa saat lalu. Pastinya bukan bahagia, melainkan perasaan luar biasa gelisah.

"Hh, maaf sayang.."

Jimin memaksa matanya yang mulai berkaca-kaca agar menutup. Dia tidak ingin menangis lagi. Sudah cukup untuknya melewati hari yang amat sangat melelahkan ini. Jimin hanya ingin waktu buat berpikir jernih dan meluapkan semua beban batinnya. Jungkook tidak perlu memohon maaf padanya, secara garis besar, pria itu tidaklah salah.

"Malam, Jimin.."

"Malam, Kook-ah."bisiknya tanpa suara.

Sudah sepantasnya Jungkook mengerti. Lagipula inilah tugasnya. Dia dituntut untuk membimbing langkah Jimin. Pria itu tahu, di dasar hatinya Jimin tengah berusaha keras melawan rasa ingin menang sendiri. Jungkook tahu Jiminnya tidak seburuk itu. Jungkook telah mengikat janji akan selalu menjadi penopang, menjadi petunjuk bayangan untuknya.

"Aku mencintaimu, sayang.."

Detik itu juga bibirnya melengkung ke bawah, satu tetes lolos dari matanya yang bergetar. Jimin tampak seperti manusia paling jahat bila berada di samping Jungkook yang selalu sabar menyikapi beban--yang secara disengaja ataupun tidak, berakhir di atas bahu pria itu.

💫

"Apa Jimin masih marah ya?" gumamnya tak tenang. Jungkook sibuk bolak-balik sambil berpikir keras, otaknya mungkin sudah panas. Persis setrikaan menyala yang dipakai berlebihan.

Belum ada sepucuk kabar dari suami mungilnya. Meskipun begitu, Jungkook belum menyerah menghubungi Jimin dan belum bosan menatapi layar ponselnya di ruang kerja. Bahkan Seokjin sampai menegur sikapnya beberapa kali.

Belum lagi Jungkook harus usap dada karena tak bisa melihat wajah teduh itu sebelum berangkat menuju bandara. Pria mungilnya berkilah punya urusan yang berbeda dan tak ingin merepotkan Jungkook.

Untuk sementara waktu, Hani benar-benar pergi menghabiskan waktu dengan orangtua kandungnya. Jungkook tidak ingin egois dan membatasi gerak anak gadisnya.

Tapi Jimin jelas bertentangan dan Jungkook tahu betul alasan dasar yang melekat di kepala dokter mungil itu. Jimin bahkan enggan bila harus ikut mengantar Hani. Dengan begitu dia membiarkan Jungkook melakukannya sendiri, tanpa dirinya.

Jungkook-ssi, My Love! [Kookmin] Book IIWhere stories live. Discover now