[13]. wrong path?

3.1K 423 66
                                    

Bulan sabitnya memberi atensi sepanjang jalanan, tak bising dan cukup lengang. Butuh waktu lima belas menit menuju tempat istirahatnya. Jimin turun tepat setelah kendaraan itu berhenti, tak lupa membayar sesuai deretan angka yang tertera di argometer taksi.

Sejak tadi pagi, di Rumah Sakit pun pikirannya terpatri pada Jungkook. Ingin menghubungi sang suami namun gengsi. Sepertinya lebih baik dia membiarkan pria itu menghubunginya lebih dulu. Karena sampai sekarang pesannya belum juga mendapatkan respon.

Kakinya beranjak menuju lobi, Jimin tak ingin kembali ke rumah orangtuanya sendirian. Setidaknya sampai Jungkook tiba--kemungkinan esok hari di Seoul mereka bisa pergi bersama-sama untuk menemui Ayah dan Ibunya. Bukan ide yang buruk, pikirnya.

Tubuh kecilnya menekan pintu kamar. Kepalanya sedikit pusing, Jimin berbaring setelah melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya, mengaktifkan pemanas ruangan, lalu Jimin memilih membersihkan diri.

Usai keluar dari kamar mandi, Jimin jauh lebih segar. Tapi denyutan di kepalanya tak kunjung hilang, tidak heran karena dia terlambat lagi mengisi lambung. Jimin memesan makanan, kemudian menghempaskan badannya ke kasur.

"Kenapa Jungkook belum menghubungiku lagi. Apa sesibuk itu?" Lelah mencari-cari jawaban sendiri, Jimin memilih mengalah untuk menghubunginya. Tidak aktif. Sebenarnya kemana pria itu?

"Hh, kemana sih?!" Keningnya berkerut. Ponsel bernuansa putih itu dilempar ke sisi lain. Ah, Jimin lupa lagi. Zona waktu mereka berbeda.

Jimin melirik penunjuk waktu di atas nakas, jam empat sore. Sementara di Los Angeles pasti hampir tengah malam. Jungkook kemungkinan besar tertimbun dalam tumpukan pekerjaan dan terlelap nyenyak sekarang. Jimin menghirup oksigen agar tenang.

"Ternyata sangat sepi kalau tidak ada Kookie.."

Tenggorokannya kering, entah itu karena flu, atau yang lainnya, sangat mengganggu. Jimin bangkit dan meneguk habis segelas air mineral.

Pintu kamarnya diketuk, Jimin segera mendekat dan mengambil pesanannya yang datang dengan senyum ramah. Tak lupa berterimakasih dan memberikan tip pada pelayan hotel.

"Terimakasih,"katanya sopan, sedikit membungkuk dan menutup pintu.

Setelah melahap habis makanannya, Jimin terduduk diam. Sepertinya keluar sebentar dan membeli obat tidak buruk, pikirnya.

Jimin mengganti baju dengan yang lebih hangat, kemudian menarik duffle coat hitam yang merupakan salah satu mantel kesukaannya sebagai lapisan luar.

Jimin terkekeh kecil, mengingat seberapa sering dia memainkan kancing depannya yang terbuat dari bahan kayu. Setelah mengenakannya, Jimin terkesiap di tempat.

"Ini punya Jungkook.."lirihnya sambil menggaruk tengkuk. Mematut diri di depan kaca. Jimin tenggelam karena mantel si bongsor. Mereka membelinya sepasang, tapi Jimin sering memakai milik Jungkook.

Wajahnya agak tersipu membayangkan sekian banyak pakaian yang awalnya Jungkook beli dan kenakan untuk badan kekarnya selalu berakhir di tubuh kecil Jimin.

Namun Jungkook tidak keberatan, bahkan terang-terangan mendukung kebiasaan Jimin. Diam-diam dia juga senang mendapati Jimin terbenam di dalam baju kaos longgarnya atau hoodie kebesaran yang membuat si mungil dua kali lipat menggemaskan.

Jungkook-ssi, My Love! [Kookmin] Book IIWhere stories live. Discover now