Arya tertawa. Dengan perlahan dia menjauhkan tangan Rully dari kemejanya. Dia menatap Alya masih tertawa. "Lo ngapain sih pacaran sama cowok modelan kayak gini? Mirip gelandangan. Lo nggak pernah ngurusin cowok lo, ya?"

"Apa lo bilang?" teriak Rully, kembali menarik kerah kemeja Arya. Arya dengan cepat mendorong Rully dari hadapannya.

Sementara Alya hanya bisa menghela napas. Pasrah. Dia mengangkat kedua tangannya ke samping dan menjatuhkannya kembali ke sisi tubuh. "Silakan kalian berdua berantem," gumam Alya.

"Lo beneran selingkuhannya Alya, ya?" tanya Rully dengan akting yang menurut Alya gagal total.

"Kalau memang iya kenapa? Dia juga cewek gue," tantang Arya.

"Kalian berdua ngomong apa, deh?" Alya menggeleng heran.

"Gue nggak nyangka lo kayak gini, Al." Rully menatap Alya dengan tatapan kecewa, membuat Alya tak tahu harus merespons apa. Ingin tertawa, tapi dia terlalu kesal. "Gue pergi. Semoga lo bahagia dengan cowok baru lo. Kita putus." Rully menjauh. Dia naik ke atas motor dan segera memakai helm sebelum melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"RULLY!" Alya menatap motor Rully yang semakin menjauh. "KOK LO NINGGALIN GUE, SIH? ARGH." Alya hanya bisa berdiri di tempat. Toh, percuma dia mengejar Rully yang mustahil akan berbalik.

"Dia tuh cowok kasar. Udah jelas-jelas nggak jelas gitu. Lo masih aja teriak, 'Rully! Kok lo ninggalin gue, sih? Argh.'," kata Arya sambil meniru teriakan Alya dalam versi ngondek.

Alya berbalik. "Ini semua gara-gara lo!"

"Kok gue?" Arya terkejut. "Gue udah baik nolongin lo dari cowok model kayak dia."

"Nolongin? Yang ada lo sok jadi pahlawan di siang bolong gini." Alya memegang kepalanya pusing. Bingung pulang naik apa. Dia tiba-tiba teringat ucapan Saphira. "Ar, nggak usah sok-sokan ngebela cewek kalau lo aja masih suka mainin banyak cewek."

"Nancep." Arya tertawa. "Tapi, ngomong-ngomong gue udah nggak pernah mainin cewek semenjak kenal lo."

"Bodo," kata Alya sambil melangkah pergi.

Arya dengan sigap berada di depan Alya dan berjalan mundur. "Tahu dari mana lo gue suka mainin cewek?"

"Lo kan terkenal seantero sekolah," sindir Alya.

"Hem. Iya, iya. Bener juga. Lo mau pulang bareng gue nggak? Ojek lo udah minta putus tuh tadi. Gimana kalau mulai hari ini gue yang jadi tukang ojek lo?"

Alya melirik Arya dengan tatapan sinis. "Nggak. Makasih."

"Gue tebak lo pasti butuh tebengan. Ya, kan? Kehabisan duit buat jajan, ya? Tadi gue lihat lo makan banyak di kantin," ejek Arya. Alya memolotinya. "Daripada gue minjemin lo uang buat pulang, mending gue minjemin lo hati gue."

"Lo ngomong apa sih? Dari tadi ngelantur. Mabok, ya?"

"Iya, nih. Mabok cinta," balas Arya. "Yuk, gue anter pulang. Posisi motor gue udah jauh."

"Iya, iya pulang bareng." Alya menghentikan langkahnya saat melihat tatapan penuh kemenangan dari Arya. "Tapi dalam mimpi lo."

Alya bersedekap. "Pulang bareng. Terus, nanti kita jadi deket. Kenal satu sama lain. Pacaran kayak cerita-cerita di novel yang biasanya Saphira ceritain. Oh. Wow. Kayak gitu ya cara lo dalam nyari mangsa? Basi."

"Lo yang mikir gitu. Gue enggak." Arya mengangkat bahu. "Lo nggak mau bareng gue pulangnya? Ya udah. Gue pergi, nih." Arya kembali berjalan menuju motornya terparkir.

"Ya udah," ucap Alya masa bodo, lalu berjalan ke halte terdekat tanpa sedikit pun menoleh ke arah Arya.

Arya mengambil motornya. Dia menunggu di atas motornya sambil menghitung waktu, pasti Alya akan berbalik dan balik memohon diantar pulang. Meskipun Arya tidak tahu apakah Alya benar-benar kehabisan uang. Namun, melihat bagaimana gelisahnya Alya tadi membuat Arya berpikir bahwa Alya memang khawatir tak tahu caranya pulang. Arya juga melihat cewek itu makan banyak dan tak sengaja mendengar bahwa Alya mentraktir ketiga temannya makan.

Arya melajukan motornya dan berhenti di depan halte. Dia membuka kaca helm. Ditatapnya Alya yang langsung membuang muka.

"Serius, nih? Nggak mau pulang bareng gue?" Arya menarik gas. "Oke."

"Tunggu!"

Posisi motor Arya baru berpindah dua meter. Di balik helm itu, Arya tersenyum penuh kemenangan. "Kenapa? Gue buru-buru, nih."

Alya menatap ke lain arah. "Ya udah. Anterin gue, tapi jangan ngebut. Awas aja."

Arya melemparkan seringaian. "Nggak janji, sih. Soal itu."

Alya menatapnya pasrah. "Helm mana? Lo mau anterin gue tanpa helm? Kalau nggak sengaja jatuh terus kepala gue kebentur, lo mau tanggung jawab?"

"Gemes banget gue sama lo. Ngomongnya nggak ada rem." Arya turun dari motor. Dia melepas helmnya dan memakaikannya di kepala Alya. "Biar gue yang nggak pakai helm."

"Terus, lo gimana? Kalau kita jatuh terus otak lo kegeser, lo tambah gila, dong?"

Arya menunduk, menutup bibirnya yang hampir mengeluarkan tawa kencang. "Gue agak heran. Lo ngomong panjang lebar gini bukan karena lo menutupi rasa malu karena berubah pikiran, kan?"

Alya membuang muka. "Ya udah. Nggak usah anterin gue pulang."

"Oke, oke, oke." Arya menahan tangan Alya yang mau melepaskan helm di kepalanya. "Helm gampang! Gue bisa beli di toko dekat sini. Nanti dilewatin, kok." Cowok itu kemudian naik ke atas motor dengan semangat 45.

Disusul Alya yang setelah naik di atas motor Arya langsung menunduk menahan rasa malu.

***

Di sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Alya tak henti-hentinya merutuki kejadian tadi. Dia sudah kepalang malu. Menolak penawaran Arya dengan gengsi tinggi, yang ujung-ujungnya berubah pikiran karena tak ada pilihan lain lagi selain ikut di motor cowok itu. Belum lagi, setelah membuang gengsi, dia malah menjadi cerewet. Mengomentari apa saja yang biasanya dia tak pedulikan.

"Udah sampai. Di sini, kan?" tanya Arya setelah motornya berhenti beberapa saat yang lalu.

Alya turun dari sana dan segera membuka helm yang tadi benar-benar dibeli oleh Arya. Padahal Alya sebenarnya tak perlu menyuruh cowok itu repot-repot. Semuanya sudah terlanjur.

"Makasih," kata Alya, lalu segera pergi dari hadapan cowok itu.

"Cuma makasih doang, nih?" teriak Arya. Dari suaranya saja, Alya sudah bisa membayangkan bagaimana tampang Arya sekarang.

Sebelum tiba di pagar rumahnya, Alya berbalik dan bersedekap. "Terus mau lo apa?"

"Eum, apa, ya?" Arya pura-pura berpikir.

Bunyi kendaraan motor mengalihkan perhatian keduanya. Rully mengerem mendadak, membuat tubuhnya sedikit terdorong ke depan. Cowok itu menghentikan motor dan menatap Arya.

"Ngapain lo ke rumah cewek gue?" tanya Rully.

"Lah, bukannya kalian udah putus, ya? Lo juga kan yang mutusin Alya duluan?" Arya mendengkus. "Lo yang ngapain di mari?"

Rully tertawa. Tawanya sampai membuat Arya mengernyit heran.

Alya langsung menggeleng-geleng. Dia membuka pagar yang muat untuk motor Rully masuk.

"Betapa enaknya kibulin orang," kata Rully dengan nada yang dibuat-buat seperti nyanyian. Rully menyalakan mesin motornya lagi dan membawanya melewati pagar rumah.

Arya melihat semua itu dan dia hanya bisa membuka mulut. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang dia saja bingung ingin mengatakan apa saking herannya.

Alya menutup pagar rumahnya kembali dan bicara lewat pagar yang menghalangi mereka. "Selamat, lo berhasil dijadikan sebagai korban kegilaan kakak gue," kata Alya sebelum berbalik menuju rumahnya.

Arya menaikkan satu alisnya. "Kakak?" Dia kemudian mendengkus, lalu tertawa.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

SayangWhere stories live. Discover now