BAB - 22

89.3K 9.7K 256
                                    

___

"Hufh...." Alya bergerak gelisah di tempat tidurnya. Dia bangun dengan rambut yang sangat berantakan, lalu turun dari sana menuju jendela. "Kemarau, ya? Panas banget ampun."

Matanya yang belum terbuka sempurna tak melihat cahaya matahari. Dia akhirnya melihat hanya ada lampu-lampu milik tetangga yang menyala di teras rumah. "Udah malam, gue tidur berapa lama?" gumamnya, bicara sendiri.

Dia menyalakan lampu kamarnya dan kembali ke tempat tidur. Berbaring kembali untuk mengumpulkan kesadarannya. Dia menguap sambil menutup mulut. Baju yang sama dipakainya ke sekolah sore tadi masih melekat di tubuhnya. Setibanya di rumah, dia memang langsung masuk ke kamar dan terlelap setelah mencaci-maki Arya lewat kata-kata. Beruntung Arya tidak banyak tingkah.

Sambil menguap sesekali, Alya kembali bangun. Dia berjalan seperti zombie menuju pintu kamarnya yang sengaja dia kunci. Rambutnya yang tadi terikat kini berantakan. Pengikat rambutnya bahkan sudah di ujung dan hampir jatuh. Dia turun dari tangga menuju dapur untuk mengambil minum dan saat hampir memasuki ruang tengah, dia berhenti hanya untuk melihat siapa yang sedang bersama Rully sekarang. Meski kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, melihat dua sosok cowok lewat ekor matanya sudah bisa membuatnya paham bahwa Rully sedang mengajak temannya ke rumah ini.

Matanya yang tadi menyipit kini terbelalak melihat Arya yang saat ini berdiri di samping Rully. Alya mencari tempat persembunyian dan mengerjap-ngerjap heran.

"Hah?" Alya masih menggeleng tak percaya. Dia perlahan mengintip di balik tembok dan meringis heran. "Kok bisa seakrab itu, sih?"

Masalahnya adalah kenapa mereka berbincang-bincang santai? Bukannya waktu itu mereka tidak saling kenal? Alya berdecak. Dilihatnya pakaian yang Arya gunakan. Ternyata sama persis dengan pakaian yang dia pakai saat mengantar Alya pulang. Apa cowok itu belum pulang?

Alya menguping dan dari percakapan dua cowok menyebalkan itu, mereka sedang membahas gunung. Keduanya berdiri di depan foto Rully yang menggantung di dinding. Foto saat Rully berdiri di gunung Rinjani bersama bendera merah putih di sampingnya.

"Ngapain anak cewek ngintip-ngintip?"

Alya melotot. Dia keluar dari tempat persembunyian dengan gerakan halus. "Siapa yang ngintip?" elak Alya kepada kakaknya yang tadi bicara. "Gue mau ke dapur, kok. Kebetulan lewat aja."

"Kebetulan lewat, terus nggak sengaja lihat Arya. Terus ngintip?" ejek Rully. "Jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa?" teriak Alya kesal. Dia melirik Arya yang sedang tersenyum. Alya langsung mendesis kepada cowok itu. Dia berbalik pergi. Setelah beberapa langkah, dia kembali bersembunyi di balik dinding.

"Jangan-jangan mereka ngerencanain sesuatu?" gumamnya. "Mencurigakan banget!"

Alya menempelkan telinganya ke dinding. Kok nggak kedengeran apa-apa lagi, sih? batinnya.

"Aish." Alya perlahan mengintip di balik tembok. Karena rasa penasaran yang tinggi, dia terpaksa melakukan itu. Sebelah matanya mulai mengintip dan dia terkejut melihat wajah Rully muncul tiba-tiba.

"HUA." Alya mundur dan hampir terjungkal. "Kenapa muka lo makin hari makin jelek, sih?"

Rully mendorong jidat Alya dengan telunjuknya. "Kakak terganteng di dunia gini dikatain jelek? Emang ya dasar lo anak pungut durhaka."

Alya melotot. Teringat dengan cerita Mama bahwa dulu Rully sering mengerjainya dan mengatakan bahwa dia hanyalah anak pungut di keluarga ini yang ditemukan di tong sampah depan rumah.

"Ngapain lo masih ngintip? Ngintipin apa, heh? Ngintipin Arya?" tuding Rully. Telunjuknya mengarah kepada Arya yang masih berdiri di posisi tadi. "Lo suka ya sama dia?"

"Enak aja nuduh-nuduh sembarangan!" bentak Alya tak terima. Dia melirik Arya yang sedang menahan senyum. "Ngapain, sih, dia masih di sini?" gumamnya, lalu berbalik pergi. "Pokoknya gue nggak suka! Nggak usah nuduh sembarang. Dasar!" omel Alya sambil terus berjalan ke dapur.

"BENERIN DULU TUH RAMBUT DAN MUKA BARU KETEMU GEBETAN!" teriak Rully.

"DIEM LO, JELEK!" teriak Alya di dalam dapur.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

SayangWhere stories live. Discover now