Sejak pertama kali memasuki sekolah, orang-orang memperhatikan 'gambar' setrika di rok Alya. Tak ada waktu mendapatkan rok baru. Lagipula, gambar setrika di roknya tidak sampai bolong atau berwarna hitam. Meskipun masih menjadi perhatian dan tawa siswa-siswi lain, Alya terlihat cuek.

Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Sekolah. Di atas teriknya matahari, dia dan calon-calon baru sekolah itu berjemur di lapangan untuk mendengar para panitia memberi arahan entah apa lagi.

Lama banget ergh, batin Alya. Mulutnya tak pernah diam mengunyah permen karet untuk mengusir rasa bosan. Belum lagi akan kekesalannya pada siswi di depannya yang terlalu banyak tingkah dan tak bisa berhenti mengoceh dari tadi, menambah asap di kepalanya.

Alya sedang memikirkan cara agar siswi di depannya itu berhenti bersikap menyebalkan di belakangnya. Namun, niatnya itu buyar saat seorang panitia berteriak lewat toa.

"PERHATIAN SEMUANYA!"

Alya menatap panitia di depan sana dengan malas, lalu memilih untuk menunduk karena menghindari sinar matahari yang terasa di depan wajah.

"Siapa yang bernama Sayang di sini?" teriak panitia itu, membuat sebagian orang di sana menahan tawa sekaligus penasaran. "Ayo ngaku aja."

Alya mengangkat wajahnya dan menyipitkan mata karena sinar matahari. Ditatapnya panitia itu dengan heran. Dia panitia, katanya. Namun, dengan kemeja yang di luar celana dan dasi yang terikat di kepala. Itu yang namanya panitia? Alya menggeleng heran.

"Sayang...," panggil cowok itu lagi, membuat Alya melihat ke sekelilingnya. Cowok di depan sana sedang mencari pacarnya atau apa? Alya sudah lelah berdiri sejak tadi. Dia berharap drama yang dibuat cowok itu segera berakhir.

"Nggak usah cari ke sana kemari karena yang namanya Sayang itu kan elo."

Alya mengernyit. Geli. Dia menatap cowok itu. Kernyitan di dahinya semakin dalam saat cowok itu melihat ke arahnya sembari tersenyum.

"Halo, Sayang?" Cowok itu mengangkat tangannya. "Kenalin, gue Arya."

Alya memalingkan wajah. "Bukan gue," gumamnya meyakinkan diri.

"Hei, yang di kalung kartonnya ada tulisan 'kecoak'."

Alya mengernyit. Dia melirik Arya di depan sana.

"Nama lo Sayang, kan?" lanjut Arya lagi.

"Dia siapa, sih? Sok kenal banget." Alya menghela napas. Siswa-siswi lain menatapnya penasaran. Alya melihat sekelilingnya dan berdecak kesal. "Ngapain sih pada ngelihatin gue?" bisiknya kesal.

"Sayang sini, dong!" teriak Arya dengan nada manja yang dibuat-buat.

"Nama gue Alya, bukan Sayang. Paham kalian?" Alya memberi klarifikasi ke orang-orang yang menatapnya penasaran.

"Alya Rosayang Riansyah. Lo yang ke depan sini atau gue yang ke sana?" tanya Arya, membuat kekesalan Alya semakin di ubun-ubun. Nama lengkapnya disebut dengan tepat dan itu artinya kakak kelas bernama Arya itu memang sedang bicara dengannya sejak tadi.

"Ayo maju sini," kata Arya. Alya tetap setia di tempatnya. "Nggak usah terheran-heran kenapa gue ganteng, gue juga nggak tahu nih udah dari sononya."

Alya menganga. "Gesrek nih orang," katanya pelan.

"Ayo maju sini, Sayang."

"Apa, sih? Nyebelin banget! Kenapa gue yang kena coba?" Alya berdiri gelisah di lapangan. Dia tak peduli dengan siswa-siswi yang menahan tawa melihat kekesalannya. Mereka justru senang melihat tontonan asyik itu. Padahal Alya sangat berharap tidak ada hal yang aneh-aneh terjadi saat dia menginjakkan kaki di sekolah ini. Sudah cukup dengan hal-hal menyebalkan di rumah karena Rully.

SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang