TIGA PULUH DELAPAN

401 27 18
                                    

Ini sudah hampir tiga puluh menit Rey joget dengan Dokter. Zavia juga kini sudah mulai bosan. Bagaimana dengan Rey? Bahkan, sekarang Rey terlihat sangat miris sekali.

Tubuhnya sudah banjir keringat. Namun, anehnya, sang Dokter tidak terlihat capek sama sekali. Bahkan, terlihat sangat sehat.

"Jadi ... yang udah tua ini siapa? Rey atau Dokter?" Zavia tiba-tiba bersuara. Rey mendelik tajam ke arahnya.

"Gue gak salah denger? Enak aja sama-samain gue sama Dokter yang jelas umurnya tiga puluh tahunan," sungut Rey tak terima.

Dokter itu malah terkekeh. "Wah, saya tersanjung, lho ada yang anggap saya muda."

"Dokter emang kelihatan muda, kok. Lihat aja, Rey udah kelihatan capek gitu, tapi Dokter biasa aja," ujar Zavia seadanya.

Rey langsung menyumpah serapahi Zavia. Salah siapa coba dia seperti ini?

"Ya iyalah, saya, 'kan, selalu rutin joging pagi. Kalau cuma joget kayak begini, mah, gak masalah," ujar Dokter sambil terkekeh.

"Ya udah, saya pergi dulu, ya? Jaga kesehatan baik-baik, demam kamu itu cukup tinggi, lho," sambung Dokter. Zavia mengangguk, paham, lalu Dokter pun pergi.

Akhirnya, Rey bisa bernapas lega juga. Jarang-jarang Rey mau joget seperti ini. Kalau sekolah sampai tahu, reputasinya sebagai cowok tulen bisa dipertanyakan.

"Rey, sini!" suruh Zavia sambil mengisyaratkan tangannya agar Rey duduk di sampingnya.

Rey menurut, lalu duduk di samping Zavia. Napasnya masih tidak teratur. Sungguh sangat melelahkan sekali, tapi lumayan untuk olahraga sesekali.

"E-eh? Lo mau apa?" tanya Rey saat Zavia tiba-tiba mengelap keringat di sekitar wajahnya. Zavia tidak menanggapi apapun.

"Nih, sapu tangannya," ujar Zavia sambil menyodorkan sapu tangan pink ke arah Rey.

Rey semakin bingung. "Ngapain lo kasih ke gue?"

Zavia mendengkus. "Itu buat kamu aja."

"Buat apa?"

"Ya terserah. Lagian, itu udah di pakai buat ngelap keringat kamu. Kalo kamu nggak mau, buang aja, aku nggak mau pakai bekas orang lain," cerocos Zavia dalam satu tarikan napas.

Rey menepuk jidatnya. "Siapa yang nyuruh lo--"

'Brak!'

"Zav, lo gak apa-apa?" Zavia mengusap dadanya, hampir saja jantungnya copot tadi.

"Hm." Zavia berdeham. Lalu, tiba-tiba tubuhnya membatu.

Rey dan Felly yang melihatnya pun sama-sama terkejut.

Kini, Devin sedang memeluk Zavia erat, seolah tak mau melepaskan.

"Ish, kamu kenapa? Aku nggak bisa napas, mau bikin aku mati muda?" cecar Zavia. Devin tersenyum menanggapi, lalu melepaskan pelukannya.

"Pedes banget, tuh, mulut," sindir Devin. Seketika, Zavia langsung menjilat bibirnya.

"Tau darimana kalau mulut aku pedes? Perasaan nggak, tuh," ujar Zavia dengan polosnya. Hal itu langsung membuat Rey, Devin, dan Felly tertawa terbahak-bahak.

"Selera humor kalian receh."
________

Pukul 17.00

Zavia kini berada di rumahnya. Tadi, Zalfa tiba-tiba datang ke rumah sakit. Zavia pun tak tahu darimana Zalfa mengetahui bahwa dirinya di rumah sakit.

Awalnya, Zalfa datang karena khawatir dengan keadaan Zavia. Namun, Zavia malah merengek minta pulang. Katanya, dia tidak betah di rumah sakit.

Jelas Dokter melarang, demam Zavia masih tinggi. Namun, akhirnya Dokter memperbolehkan juga, asalkan Zavia harus istirahat di rumah.

Terpaksa, dia harus menyetujuinya.

Padahal, Zavia ingin tetap bersekolah. Daripada di rumah, 'kan? Bosan.

"Ma, Via besok mau sekolah," rengek Zavia yang dihadiahi tatapan tajam Zalfa.

"Tadi kata Dokter apa? Udah bilangin nggak boleh, kamunya nggak nurut. Lihat, masuk rumah sakit, 'kan? Kalo kamu masih tetep mau sekolah, Mama masukin lagi ke rumah sakit," ancam Zalfa. Zavia mendengkus.

"Lagian, kalo Via di rumah, nanti siapa yang nemenin? Mama sama Papa pasti kerja, Bik Yuyun sama Mang Jono, belum ke sini. 'Kan, Via bosen." Zavia mencebikkan bibirnya, kesal.

"Mama nanti ambil cuti. Udah, nggak usah manja!" tegas Zalfa.

"Ish, kejam!" Zalfa tak merespon perkataan putrinya itu.

"Ya udah, nih, kamu makan," ujar Zalfa sambil menyodorkan bubur ke arah Zavia.

"Mama! Via nggak suka bubur!" ketus Zavia.

"Makan! Jangan banyak nawar, biar cepet sembuh!" Setelah itu, Zalfa pun meninggalkan kamar Zavia.

"Daripada makan, mending aku telepon Rey," gumam Zavia, lalu mengambil teleponnya di atas nakas.

Segera, dia mencari nomor Rey. Setelah menemukannya, Zavia segera menelepon Rey.

[Halo?] Terdengar suara Rey di seberang sana.

Zavia langsung menyimpan buburnya di meja dan langsung merebahkan tubuhnya di kasur.

"Rey, kamu mau culik aku, nggak?"

[Ngapain? Kayak nggak ada kerjaan aja] sembur Rey.

"Ish, emang kamu nggak kasian lihat aku dikurung di sini?"

[Itu mah derita lo! Salah sendiri nggak dengerin omongan nyokap lo]

Zavia memajukan bibirnya beberapa centi. Respon dari Rey membuat moodnya memburuk. Padahal, niatnya tadi menelepon Rey agar tidak bosan.

"Via! Habisin dulu makannya!" Suara teriakan itu sukses membuat bulu kuduk Zavia meremang. Jantungnya berdebar tak karuan. Inikah yang namanya rasa takut?
_____________

TBC
Gimana part kali ini?
Sorry ngebosenin:(
Maaf baru update lagi, soalnya kemarin lagi kehabisan ide:"

Semoga suka^_^
See you next part^-^
Jangan bosen sama ceritanya:*

Salam,

Tltha_lthfi

FOR YOU [✔]Where stories live. Discover now