TAMAT

841 37 6
                                    

Zavia kini sedang menulis akhir dari cerita novelnya. Ya, novel yang dia berikan kepada Rey kemarin, memang belum memiliki akhir cerita.

Tentu saja, novel ini merupakan kisah nyatanya. Dan akhir ceritanya baru terjadi kemarin. Ya, kemarin.

Di mana hatinya baru saja dipatahkan berulang-ulang. Rasa sakitnya ... masih membekas sampai saat ini. Namun, Zavia mencoba menerimanya.

Selesai membuat akhir cerita, Zavia segera mengirim cerita itu ke rumah Rey.

"Inilah akhir dari ceritaku dan kamu."
___________

Hari ini adalah hari pembagian raport. Sudah berselang tiga hari semenjak insiden itu terjadi.

Hari ini juga adalah hari yang menentukan naik kelasnya atau tidak.

Semua siswa cemas dengan nilai raportnya, tapi Rey tidak. Justru Rey mencemaskan hal lain.

Dia sudah berkeliling sekolah mencari keberadaan seseorang, tapi tak juga dia temukan.

Kini, Rey sedang berada di rooftop. Melamun, sambil memikirkan insiden tiga hari yang lalu.

"Rey!" Terkejut, Rey tersadar dari lamunannya.

"Ada apa, Fell?" tanya Rey.

"Lo itu ... kenapa?" Felly balik bertanya.

"Maksud lo?"

"Daritadi gue udah panggil lo, tapi kayaknya lo gak denger. Ada apa? Kayaknya lo lagi mikirin sesuatu." Rey tersenyum, lebih terlihat senyum miris.

"Gak apa-apa, kok," jawab Rey, lalu kembali melamun.

"Gue itu di sini, lho, Rey," ujar Felly tiba-tiba.

"Gue tau, kok. Emang kenapa?" tanya Rey.

"Gue di sini, tapi lo gak pernah lirik gue. Di mata lo ... gue seakan gak ada," jawab Felly. "Gue selalu berharap sama lo, gue udah perjuangin lo, tapi ... lo tetep gak pernah anggap gue. Setidaknya, bisa gak lo hargain perjuangan gue?" sambung Felly.

"Sebenernya, lo itu cinta gak, sih, sama gue?" tanya Felly dengan sorot mata berharap.

Rey mengerutkan keningnya, heran dengan pertanyaan Felly yang satu ini.

Suasananya kali ini menjadi sedikit canggung. Obrolan kali ini memang sangat serius.

"Maksud lo apa? Gu--gue ... cinta sama lo," jawab Rey, ragu. "Lo kenapa?" tanya Rey. Dia merasa Felly sedikit aneh. Namun, bukannya menjawab, Felly malah menangis.

"Fe--felly? Lo kenapa?" Rey panik, berniat menyentuh pundak Felly, tapi Felly menepis tangan Rey kasar.

"Lo yang kenapa! Semenjak kejadian tiga hari yang lalu, lo itu ... jadi sering murung, gak pernah senyum, pokoknya lo beda. Lo bukan Rey yang dulu gue suka! Lo bukan Rey yang dulu gue perjuangin! Lo itu siapa?" Felly menangis terisak, ditatapnya Rey yang sedang menatapnya dengan pandangan bersalah. Ya, Felly memang melihat semua kejadian itu.

"Gue ... gue minta maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir Rey. Felly menggigit bibir bawahnya.

"Kalo seandainya lo suka sama Zavia, jangan jadiin gue alasan sebagai penghancur hubungan kalian! Lo gak bisa bohongin perasaan lo sendiri, Rey! Gue memang selalu berharap sama lo, tapi bukan ini yang gue mau!" teriak Felly.

"Di sini, bukan hati lo aja yang sakit. Gue, Zavia, Devin juga ngerasain hal yang sama. Bahkan, gue sama Devin ngerasain gimana sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan."

"Gue tau, lo itu cinta sama Zavia, tapi kenapa lo lepas? Kenapa lo gak perjuangin? Cinta lo itu terbalas, gak kayak gue sama Devin." Napas Felly naik-turun. Sesak dihatinya semakin terasa.

FOR YOU [✔]Where stories live. Discover now