EPILOGUE

868 33 11
                                    

Rey termenung dirumahnya. Dia sudah mengurung diri di kamar selama dua hari. Hidupnya seakan sudah tak ada artinya lagi.

Bahkan, Vero, Rafa, Felly, dan Darla sudah mengajak Rey keluar, tapi Rey tetap menolak.

Tiba-tiba, dia teringat dengan sebuah novel berjudul "SENJA" yang dia dapatkan dari Zavia, ia segera mencari buku novel itu. Setelah menemukannya, Rey membuka akhir dari cerita.

Sebenarnya, novel yang Zavia beri beberapa hari lalu itu, memang benar belum memiliki akhir cerita.

Sehari setelah kejadian itu, Rey mendapat sebuah novel yang sama, tapi bedanya novel yang ini memiliki akhir cerita.

Semua cerita yang ada dalam novel itu, rata-rata tentang dia dan Zavia. Nama sama sekali tak disamarkan.

Rey pernah membacanya sekali. Rasanya ... sangat menyesakkan. Terasa sakit di sana.

Hanya ini dan sapu tangan pink yang menjadi kenang-kenangan dari gadis yang dia cintai. Rey pun mulai membacanya, lagi.

Inilah akhir ceritaku dan dia. Memang tidak mudah untuk melupakannya, tapi aku harus bisa.

Novel ini kuberi nama SENJA, karena kenangan yang paling indah antara aku dan dia adalah pada saat SENJA.

Ya, pada saat kami berlibur ke pantai dan menikmati indahnya SENJA. Mulai dari sana, aku langsung menyukai SENJA.

Mengapa? Karena, pada saat itu, Rey terlihat bahagia sekali. Rey terlihat lebih tampan.

Kuucapkan terimakasih pada SENJA yang telah membuat kenangan aku dan dia menjadi tak terlupakan.

SENJA itu ... unik. Warnanya mampu membuat semua orang terpana akan keindahannya.

SENJA itu ... unik. Meski hanya datang sore hari, tapi terkenang sepanjang hari.

SENJA ... tolong jaga dia di sana, tolong buatlah dia bahagia dengan keindahanmu, buatlah dia mengingatku saat melihatmu, jagalah dia selama aku tak berada di sampingnya.

Selama aku tak ada di sampingnya, aku ... akan selalu menjadi SENJAnya, di mana pun dia berada.

Aku akan segera pindah ke London, tolong jaga diri baik-baik.

Meski di sana aku sendiri, tapi kenangan bersama dia akan selalu menemaniku. Ini memang pertama kalinya aku tinggal jauh dari orangtua. Namun, syukurlah mereka mengijinkan.

Di London, aku berharap bisa melupakannya. Meski sulit, seiring berjalannya waktu pasti kenangan itu sedikit demi sedikit akan terhapus.

Ya, memang aku tak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk melupakannya.

Bahkan, sepertinya aku tak akan bisa melupakannya.

Untung saja Devin selalu mendukungku. Meski awalnya dia tidak setuju, tapi akhirnya dia setuju. Katanya demi kebaikanku.

Sungguh, aku salut kepada Devin. Aku tahu dia sakit saat melihatku menyatakan cinta kepada Rey. Apalagi, aku saat itu bercerita kepadanya mengenai perasaanku kepada Rey. Aku juga tahu dia sakit saat aku pergi jauh dari Indonesia.

Namun, seberapa sakitnya Devin, dia akan tetap tersenyum seperti tak ada beban dihidupnya. Sudah jelas Devin tak mau terlihat lemah didepanku.

Padahal, sekali-kali tidak apa-apa, 'kan? Lagian, aku pun sering menangis didepannya. Menyebalkan.

Ya, memang, sih, Devin pernah menangis sekali waktu di hotel. Itu pun aku tak tahu sebabnya.

Mungkin, akan ada beberapa hal yang aku sesali saat pergi jauh darinya.

FOR YOU [✔]Where stories live. Discover now