DUA PULUH TIGA

447 37 5
                                    

Setelah itu, Zavia pun segera pergi ke kelas Rey. Ternyata, hanya ada Rey sendiri. Mungkin, Felly sudah pulang. Ah, entahlah, yang pasti, Zavia bersyukur tak ada Felly.

Dengan pasti, Zavia berjalan ke arah Rey. Bahkan, kini dia seperti sudah melupakan kejadian tadi yang menbuat jantungnya berdetak cepat.

"Rey!" pekik Zavia. Rey hanya menoleh sekilas, lalu kembali belajar. Zavia yang diacuhkan mendengus kesal.

"Emang ada apa, sih, sama buku? Lebih menarik buku, ya, daripada aku?" tanya Zavia sambil mengembungkan pipinya. Rey menghela napas. Baru saja datang, Zavia sudah mengoceh tak jelas.

"Apaan, sih? Lo enggak liat gue lagi belajar? Jelas lebih menarik buku, lah," jawab Rey tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Zavia semakin kesal.

"Nah, berarti kamu enggak normal." Rey langsung batuk seketika. Dia menatap Zavia tajam.

"Lah, apa alasannya lo bilang gue enggak normal?" tanya Rey sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Alasannya, karena kamu bilang lebih menarik buku daripada aku. Kamu tau, 'kan, laki-laki yang normal itu pasti tertarik sama perempuan. Nah, karena kamu enggak tertarik sama aku, berarti kamu enggak normal," jawab Zavia panjang lebar. Rey ternganga mendengarnya.

"Terserah lo, gue males kalo lo lagi mode gini." Rey kembali membaca buku.

"Mode kayak gimana?"

"Enggak usah banyak tanya. Mending sekarang lo belajar."

"Enggak mau."

"Hah? Kenapa? Tadi lo ngajak belajar bareng, 'kan?"

"Iya, tapi aku pengen liat kamu belajar aja."

"Unfaedah," gumam Rey

"Jangan suka pake bahasa alien, aku enggak ngerti," tutur Zavia.

"Bahasa alien? Siapa yang pake bahasa alien? Perasaan, gue enggak pake bahasa alien, tuh."

"Bahasa alien itu kayak, kuker, gercep, sama unfaedah. Iya, cuma itu yang aku hafal." Rey langsung menggelengkan kepalanya pelan sambil istighfar.

"Dosa apa gue ketemu sama lo?"
__________

Hari pun mulai petang. Zavia lantas meminta Rey mengantarnya pulang.

"Rey, anter aku pulang, ya?" pinta Zavia.

"Enggak, gue ada urusan," tolak Rey cepat.

"Urusan apa yang lebih penting dari nganterin aku pulang?" tanya Zavia. Zavia kini mengembungkan pipinya kesal. Rey menoleh ke arah Zavia, lalu dia terkekeh.

"Banyak," jawab Rey sambil mencubit gemas pipi Zavia hingga Zavia kesakitan.

"Rey, sakit!" pekik Zavia sambil menepuk-nepuk tangan Rey yang masih mencubit pipinya. "Lepas!"

"Enggak akan gue lepasin."

"Kalo kamu enggak lepasin, aku nangis, nih," ancam Zavia.

"Nangis aja," ujar Rey.

"Ihk, Rey, ini beneran sakit, hiks ... hiks ... hiks ...." Zavia langsung menangis. Rey yang melihatnya sedikit merasa bersalah. Mengapa? Pasalnya, dia kira Zavia hanya akan main-main saja. Namun, sepertinya tidak.

Rey langsung melepaskan tangannya. Zavia pun langsung berhenti menangis.

"Hahaha, Rey kena tipu!" Zavia langsung tertawa terbahak-bahak. Namun, bukannya kesal, Rey malah ikut tertawa. Entah apa yang membuatnya tertawa. Namun, satu yang pasti, melihat Zavia tertawa lepas, membuatnya seketika ikut tertawa.

Gadis tanpa ekspresi, perlahan mulai menunjukkan ekspresinya. Ya, meskipun Rey tak pernah melihat ekspresi sedih Zavia. Bahkan, sepertinya Rey tak mau melihat ekspresi ketika gadis itu sedih. Dia hanya mau melihat ekspresi ketika Zavia tertawa atau tersenyum, karena itu membuat dia ikut tertawa. Dia suka senyum Zavia.

"Seneng banget kayaknya berhasil nipu gue," ujar Rey disela tawanya sambil mengacak rambut Zavia.

"Rey! Jangan diacak lagi! Nanti rambut aku berantakan!" pekik Zavia. Rey yang terkejut malah melanjutkan tawanya.

"Iya, maaf, sini gue rapihin," ujar Rey lalu merapikan rambut Zavia membuat jarak mereka hanya beberapa centi saja. Zavia bisa merasakan aroma maskulin yang Rey pakai.

"Jangan deket-deket, mesum!"
________

TBC

FOR YOU [✔]Where stories live. Discover now