Special Chapter: Luca ❤ Nagi

39.8K 2.3K 85
                                    

{LUCA's POV}

Musim dingin di London benar-benar dingin tahun ini. Aku berjalan menyusuri trotoar sambil menggosok-gosokkan kedua tangan ku yang setengahnya beku karena suhu udara minus di sini. Salju yang putih bersih turun dari langit, perlahan jatuh ke aspal trotoar yang keras, lalu leleh dan menghilang.

Aku mendongak ke langit putih yang mendung, seolah-olah lembaran kanvas putih bersih, langit membuat ku mengangkat tangan ku, dan jari telunjuk ku menggores hampa di udara.

"Kenapa hidup begitu membosankan?..." gumam ku pada diri ku sendiri. Aku menurunkan tangan ku dan memasukkan kedua tangan ku di saku mantel musim dingin. Aku dapat merasakan kedua pipi ku membeku dan merona merah muda.

Beberapa kali aku menghembuskan oksigen keluar, begitu oksigen meluncur keluar, oksigen itu berubah menjadi gumpalan asap putih yang bisa dilihat secara kasat mata.

"Lebih baik aku segera pulang..." gumam ku lagi dan bergegas berjalan menyurusi trotoar.

            "Selamat datang, Young master " sapa beberapa pelayan wanita sambil membungkuk dalam-dalam ketika aku masuk ke dalam rumah. Aku mengangguk seraya menanggalkan mantel ku. Salah seorang pelayan pria keluarga membantu ku menanggalkan mantel ku. "Saya sudah siapkan susu coklat hangat untuk Tuan muda" ujar salah seorang pelayan wanita. "Antarkan saja ke kamar" balas ku, berjalan masuk ke ruang tamu yang berpilar raksasa. Foto ibu dengan ukuran raksasa pun terlihat paling mencolok.

"My dear Luca" seorang wanita paruh baya menyapa ku. Aku berpaling ke arah wanita itu, yang tidak lain adalah ibu ku. Emily Rose Fearbright. Aku berjalan menghampiri ibu yang tersenyum lebar melihat ku. "Aku merindukan mu" ujarnya sambil memeluk ku.

"Aku juga merindukan mu, bu" balas ku dan mengecup keningnya. Wajahnya tampak lelah, tapi kecantikannya tidak pernah pudar. Beberapa kerutan dapat terlihat, wajar saja ibu sudah berkerut. Usianya memudar seiring bergantinya tahun.

"Bagaimana Jepang, sayang? Apa kau menikmati Jepang?" tanyanya dan mengajak ku duduk di sofa ala victoria yang mahal. "Tidak begitu menarik untuk ku. Aku lebih suka tinggal di London, atau Moscow" balas ku. Ibu tersenyum sambil membelai pipi ku. "Dingin sekali, hari ini bukan?" ujarnya dengan nada yang lembut.

"Ayah mu mengkhawatirkan diri mu, sayang" ujar ibu. "Aku rasa bukan aku yang ia khawatirkan" balas ku. Ibu tersenyum lemah, "Kau tahu bagaimana ayah mu bukan?" Aku mengangguk. "Aku harus berganti pakaian dulu. Ibu harus istirahat, jangan terlalu memaksakan diri" ujar ku dan mencium kening ibu sebelum meninggalkan ruang tamu.

Aku berjalan menuju lantai dua dimana kamar tidur dan ruang belajar, ruang baca dan kerja berderet rapi.

Langkah ku terhenti ketika pintu ruang baca terbuka sedikit lebar. Diam-diam aku berjingkat untuk melihat siapa yang ada di dalam.

Dari dalam ruangan itu, aku melihat Reo, anak angkat baru ayah sedang duduk di lantai memandang keluar jendela yang besar dengan buku besar dipangkuannya.

"Apa yang ia lihat?" pikir ku. Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan diri ku masuk ke dalam. Reo menatap ku ketika ia mendengar suara dari arah pintu.

Jujur saja aku tidak akrab dengannya. Tapi aku tahu bocah ini mengalami masa yang sulit dalam hidupnya. Siapa yang sangka orang tua kandungnya menjual dia pada ayah sebagai pembayaran hutang mereka.

"Hei, aku sudah pulang" ujar ku seraya berjalan mendekatinya. Reo menatap ku dengan kedua mata besarnya yang berwarna perak terang itu.

"Senang melihat mu lagi" balasnya lalu mengalihkan pandanganya. Aku mengamati jari-jarinya yang kotor, ia sedang mencengkram erat bukar yang ada dipangkuannya itu.

The Love That Cannot Talk [ 1 ]Where stories live. Discover now