23

1.2K 148 20
                                    

Belakangan hujan sering turun, mungkin sudah hampir sepekan lebih dua hari. Mengapa langit suka sekali mengundang kelabu, dan juga mengapa Taehyung berakhir di kedai kopi. Ia bukan lelaki yang suka menyeruput minuman pahit, apalagi duduk merenung sambil mengamati sejumlah pejalan kaki.

Ini sudah sepekan, ya sudah. Dan jalanan kini menjadi tempat Taehyung meluapkan sejuta penat karena bosan. Kesana-kemari mencari tempat menyenangkan, dari sini ke situ berusaha menikmati hari yang rasanya mungkin seumpama roti tawar. Ini sudah sepekan, dan ya, lagi, Taehyung selalu mengumpati petang yang lambat datang. Ia bahkan mungkin akan lupa jalan untuk kembali ke rumah baru Min Yoong ketimbang pulang ke apartemennya yang sudah seumpama gurun sahara. Lagi, ini sudah sepekan dan si pucat Min lebih disibukkan dengan tumpukan pekerjaan baru. Faktanya, Taehyung benci ketika ia sadar ayahnya mempekerjakan si pucat Min untuk mengambil bagian dalam bisnis pria itu. Karena seperti yang ia perkirakan, Min Yoongi akan jarang berada di rumah, bahkan dapat di hitung dengan jari berapa kali, berapa menit, dan berapa saat lelaki itu mengistirahatkan diri di sana. Entah sejak kapan atau mungkin memang sudah menjadi kebiasaan, Taehyung benci diabaikan apalagi di tinggal sendiri.

Pulang ke rumah Yoongi tanpa si pemilik rumah di sana rasanya mengingatkan Taehyung pada pertemuan pertama mereka. Ini bahkan lebih dari sekedar kata kebetulan, lebih dari apapun yang orang-orang sebut takdir, mungkin lebih tepat di sebut keberuntungan. Taehyung merenung dalam langkahnya dengan wajah berkerut geli—Yoongi racun—kepalanya penuh lelaki sinting itu.

Selangkah, dua langkah, tiga langkah, pendar lampu, gemericik hujan, rumah untuk pulang dan...Min Yoongi.

Oh, ini kah percikan rasa haru. Jika dulu Yoongi yang terpaku memandang Taehyung di bawah hujan, kini Taehyung lah yang berbinar sendu memandangnya lekat dari kejauhan.

"Oy, Kim Taehyung!"

Yoongi nampak memicingkan mata jikalau mungkin ia salah orang. Tapi, orang bodoh mana yang betah berlama-lama di bawah derasnya hujan jika bukan Kim Taehyung. Dan bukannya segera mendekati rumah untuk berteduh, Taehyung tetap saja mematung di tempat. Yoongi berdecak, kakinya terlalu hangat untuk terlibat kontak langsung dengan genangan air di jalan.

"Aku tidak akan sudi merawat orang demam, jangan harap aku memberimu obat kalau kau sakit!"

Ini bukan halusinasi, kalimat menohok itu hanya akan keluar dari mulut pedas Min Yoongi. Maka sebelum Yoongi turun ke jalan menghampirinya, Taehyung sudah mengambil langkah lebar untuk mendekat. Berdebar tak karuan ketika keduanya sudah berhadapan, nyaris mati sesak ketika dengan berani ia mendekap Yoongi erat-erat.

"Pakaianmu basah! Ini dingin, Taehyung!"

Bukan, bukan rasa haru, Taehyung bisa merasakannya. Harusnya ia mengganti kata itu dengan rindu.

"Aku butuh pakaian ganti," katanya cekikikan di antara helaian rambut Yoongi, "Juga dirimu"

Dan Yoongi rasanya ingin mati saja ketika Taehyung mendorongnya masuk ke dalam rumah tanpa melepas pelukan mereka.

.

.

Duduk bersila di lantai menunggu dengan sabar bagaimana kasarnya Yoongi mengeringkan rambut yang masih basah sehabis mandi, itu sama buruknya dengan menunggu dia pulang. Bokong Yoongi duduk nyaman di atas ranjang sedang pahanya berada di atas pundak Taehyung yang tengah memunggunginya, menahan pemuda itu agar tidak banyak bergerak karena protes rambutnya serasa mau rontok.

Itu hukuman sebab membuat Yoongi ikut-ikutan basah kuyup, dan tanpa sopan telah menyeretnya masuk ke dalam kamar.

"Tidak bisakah kamu lembut sedikit? Kulit kepalaku mulai berdenyut sakit"

PARADOX WHISPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang