19

1.2K 142 23
                                    

"Kamu akan pulang untuk makan siang?"

Seokjin dengan wajah mengantuknya sedikit oleng mengekori Namjoon yang berjalan ke tempat rak sepatu. Rambutnya acak-acakan juga mata setengah terpejam.

"Tidak tahu, aku kabari nanti," jawab Namjoon sembari memakai alas kakinya. Dan saat berbalik menghadap sang kekasih, kening menukik tajam dan bibir mencebik tak senang adalah pemandangan pertama yang dia lihat. "Hei, kenapa begitu?"

Seokjin berdecap. "Ya atau tidak?"

"Kan kubilang nanti aku kabari, Seokjin-ie"

Dalam beberapa waktu, keduanya saling pandang. Namjoon yang berupaya menahan rasa gemasnya, lalu Seokjin yang tetap pada ekspresi semula; wajah masam macam jeruk purut.

"Iya, iya, aku kembali makan siang nanti," katanya malas lalu meraih gagang pintu, "Ah, aku lupa sesuatu," Namjoon memutar tubuhnya lagi.

"Lupa ap—"

Bibir Seokjin dibungkam dengan sebuah kecupan singkat. "Double lunch siang nanti, boleh?" Dan Seokjin dibuat kaget ketika tangan Namjoon tiba-tiba menampar bokongnya.

"Heh! Byuntae! Kurang ajar! Jangan macam-macam, Kim Namjoon!"

Dengan tawa jenaka, Namjoon melesat keluar dari rumah, menghiraukan sang kekasih yang wajahnya kian memerah sampai telinga.
Di ujung gerbang, Namjoon masih sempat-sempatnya berbalik untuk melambai tinggi-tinggi ke arah Seokjin. Sedangkan Seokjin melotot tajam berusaha menggertak namun justru malah kelihatan kian menggemaskan di mata Namjoon.

Di balik kelakuan anehnya yang kebanyakan nyeleneh, Seokjin tak berharap dan tak mau lupa jika Namjoon seorang yang siap sedia dalam kondisi apapun selalu ada untuknya. Seokjin terlalu jatuh cinta, sampai rasanya dia sendiri lupa jika hubungan keduanya terlalu gelap untuk diterima dunia. Namun di balik itu, Seokjin merasa beruntung memiliki Namjoon yang akan selalu menutup kedua netranya kala keadaan buruk memaksanya untuk berpaling, menampakkan kilatan cahaya sewarna pelangi, dan Seokjin pikir Namjoon nya seumpama ilusi cantik yang terlalu bercahaya dalam gelap layaknya phosphene yang menemaninya di saat gelap gulita menyapa kedua mata.

Sejenak setelah kepergian Namjoon, Seokjin pun mempersiapkan diri untuk ke tempat kerja barunya. Belakangan karena penyakitnya sering kambuh, Namjoon memutuskan jika Seokjin lebih baik mencari pekerjaan yang lebih ringan dan santai agar dirinya tidak mudah lelah. Dan, akhirnya Namjoon menawarkan Seokjin untuk mencoba pekerjaan sebagai asisten pribadi kenalannya di sebuah butik. Meski awalnya menolak, Seokjin tidak bisa membantah jika dirinya juga perlu banyak istirahat.

"Seokjin-ie?! Kim Seokjin?!"

Samar-samar Seokjin dapat mendengar suara melengking dari seseorang di luar rumahnya, berteriak nyaring sambil menggedor pintu gerbang.

Itu bibi yang tinggal di seberang rumahnya. Wanita lansia dengan gaya nyentrik yang tidak lain adalah bibinya sendiri—kakak dari ibunya.

Seokjin buru-buru membukakan pintu, tak lupa tersenyum lebar. "Oh, bibi? Ada apa kemari? Apa kamu butuh bantuan mencari kucingmu lagi?"

"Tidak, tidak. Ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu," katanya seraya merapikan tataan rambut ikalnya yang sebagian telah memutih.

"Apa sebegitu penting?" Seokjin bertanya penasaran.

"Ehm, penting sekali. Ibumu bilang dia kesulitan menghubungimu sejak kemarin. Kenapa? Ponselmu rusak?" tanya bibinya sambil berkacak pinggang.

Seokjin nyaris tertawa melihat tingkahnya yang dibuat-buat seperti anak muda. Bibinya seperti memutar kembali waktu dan secara sadar malah bertingkah layaknya gadis belia.

PARADOX WHISPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang