22

1.1K 146 4
                                    

Satu jam berada di rumah besar milik ayah angkat Kim Taehyung bukanlah sesuatu yang bagus. Yoongi seakan kesulitan bernafas apalagi bergerak bebas. Tubuhnya mati rasa seperti tertancap di atas sofa mewah. Tentu saja ia merasa kian risih apalagi setelah pria pemilik rumah itu menawarkan pekerjaan yang terbilang tidak masuk akal. Atau mungkin memang masuk akal, hanya saja Yoongi tidak mau lagi terlibat pekerjaan serius yang berujung penyesalan seperti sebelumnya. Hidupnya sudah cukup rumit.

"Ayahku tidak serius soal itu, Yoong. Dia hanya bercanda, aku tahu betul laki-laki itu. Besok atau mungkin lusa, kamu pasti dikabari untuk pekerjaan yang kamu mau. Tenang saja"

Taehyung yang sedang sibuk mencomot panekuk yang dibelinya pulang tadi berusaha menenangkan Yoongi, karena sejak tadi pemuda itu mondar-mandir tak jelas sambil meracau bak orang sinting.

"He! Kau sengaja mempermainkanku, ya kan? Itu pasti ulahmu, mengaku!"

Taehyung mengedikkan bahu memandang telunjuk Yoongi yang berada tepat di depan hidungnya. "Sudah kukatakan padamu, ayahku suka sesuatu yang cantik. Percayalah, aku tidak bilang apapun padanya tentang dirimu. Ya ampun, berlebihan sekali."

"Cantik dari mananya, sialan! Tidak lihat kalau aku ini laki-laki juga? Wah, katarak"

Si pemuda Kim tidak ambil pusing, ia terlalu sibuk dengan makanannya sampai tidak tertarik sama sekali untuk meladeni Yoongi. Jangan kira pikirannya tak sama kacau.

Tidak berselang lama, Yoongi menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, di samping Taehyung. Menarik hembuskan nafasnya karena lelah mengoceh soal pekerjaan barunya. Ia melirik Taehyung sekilas sebelum pandangannya turun memandang piring yang terdapat sepotong panekuk, yang sejak tadi menjadi kesibukan Taehyung.

"Berikan panekuknya," kata Yoongi seraya kedua tangan bergerak hendak meraih piring di atas pangkuan Taehyung.

Lekas-lekas sepotong panekuk yang tersisa masuk secepat kilat ke dalam mulut Taehyung. Lalu, dengan wajah polos serta pipi mengembung ia menatap Yoongi. "Huah hais." (Sudah habis)

Satu lagi kelakuan buruk yang Yoongi catat banyak-banyak dalam kepala. Taehyung pelit.

"Beraninya—"

Seseorang datang bertamu sebelum amarah Yoongi membludak mengenai Taehyung yang sudah memejamkan mata erat-erat. Yoongi berdecak, mengerang hendak mengumpat, dan Taehyung keburu melengos lari ke pintu depan.

Tidak peduli siapapun yang datang, yang pasti Yoongi geram hanya karena sepotong panekuk yang dilalap habis Kim Taehyung.

"Oy, Min Yoongi, seseorang mencarimu," kata Taehyung yang muncul di lorong pintu depan.

"Siapa?"

Taehyung plintat-plintut kembali keluar menanyakan siapa tamunya itu. Menyebalkan, Yoongi benci saat dia kembali lagi berdiri di ujung lorong.

"Dia bilang Kim Seokjin," kata Taehyung. Yoongi sendiri terlonjak dari duduknya mendengar nama itu, "Kalau kamu tidak kenal aku bisa...hey, Yoong, hati-hati"

Yoongi sedikit terpeleset saat ia berlari untuk ke depan rumah. Dan Taehyung benar. Kim Seokjin, pemuda yang sudah hampir sebulan ini tidak pernah ia jumpai lagi sedang berdiri di depan gerbang rumah, memasang senyum lebar namun di satu sisi terkesan datar, matanya sembab, dan dua lingkaran hitam di bawah mata. Kim Seokjin tampak kacau sekali, tanpa energi, dan dari auranya Yoongi tahu pemuda ini sedang dirundung masalah atau sebagainya yang pastilah buruk.

Melihat Seokjin sekarang, Yoongi jadi terpikir akan sesuatu. Di mana Kim Namjoon.

"Hai, Yoongi. Kalau kamu tidak keberatan, apa aku boleh masuk?"

Bodohnya. Yoongi sampai lupa. "Ah, tentu saja, masuklah. Maaf, aku hanya terkejut kamu datang tiba-tiba begini."

Seokjin terkekeh kecil. "Yang tadi pacarmu? Aku jadi tidak enak mengganggu kalian."

"B-bukan, jangan salah kira dulu. Dia teman baikku. Maaf jika dia membuatmu tidak nyaman. Orangnya memang agak aneh, hehe"

•••

Bising keributan menyeruak ramai tak kala perdebatan hebat mengalun seperti gemuruh angin badai yang tengah murka. Setidaknya belum juga terlibat baku hatam setelah menit-menit terlewat. Namjoon memijat pelipisnya hendak menyerah saja mengatasi dua wanita paruh baya dihadapannya yang tiba di kantor polisi karena masalah sepele yakni berebut tempat jualan di pasar ikan. Tampang mereka acak-acakan dengan noda becek kehitaman memenuhi pakaian. Ini lebih konyol dari perkiraan Namjoon sebelumnya. Lebih dari apapun, kepalanya berdenyut sakit mendengar adu mulut keduanya.

"Ya! Apa kalian pikir ini pasar ikan?! Tidak bisakah kalian diam sebentar, hah?!"

Suasana mendadak hening. Namjoon sendiri sudah mengepalkan tangan kuat-kuat.

Namjoon melembut kemudian. "Tolong tenanglah, saya tidak ingin menyeret kalian ke sel tahanan saat ini juga. Jadi, mohon kerjasamanya, bisakah?"

Ia harus tetap tenang karena yang ada dihadapannya sekarang bukanlah penjahat seperti kebanyakan yang sering ditangani. Meladeni ibu-ibu harus dengan kepala dingin jika tidak ingin diamuk balik, dan tentu Namjoon tahu karakter seperti itu dari ibunya sendiri. Atau mungkin lebih cocok ia sebut mantan ibu.

Di akhir hari sebelum malam tiba, Namjoon menyempatkan diri singgah ke sebuah toko perhiasan. Mengelilingi meja kaca penuh akan aksesoris cantik karena niatnya Namjoon ingin membeli satu untuk Seokjin sebagai hadiah anniversary—dua hari lagi.

Namjoon harap dengan hadiahnya mereka bisa kembali membaik tanpa Seokjin harus memikirkan hal-hal buruk mengenai hubungan mereka. Namjoon tahu Seokjin agaknya tertekan setelah kedatangan sang ibu, ia jadi banyak melamun, tidak menghabiskan makanan, bahkan kesulitan tidur. Kekhawatiran tentu menghantui Namjoon setiap kali mereka harus berpisah karena urusan pekerjaan.

Setelah berunding dengan pemikirannya sendiri, Namjoon memutuskan untuk membeli sebuah kalung dengan liontin batu safir yang terlihat sederhana namun cantik. Pastilah sangat cocok dengan Seokjin.

Dalam perjalanan pulang Namjoon bahkan sudah menerka-nerka bagaimana reaksi Seokjin di hari jadian mereka, dan jujur saja Namjoon sudah mempersiapkan diri kena omelan karena harga hadiahnya tidaklah terbilang murah.

"Aku pulang!"

Namjoon sedikit mengendap-endap hingga ia menemukan Seokjin tengah duduk di depan meja makan serta senyum manis mengembang. Dan betapa bahagianya Namjoon melihat itu, berpikir perasaan Seokjin sudah membaik.

"Aku menunggumu dari tadi," katanya lembut dengan pandangan lekat tertuju pada sang kekasih, "Kita nikmati minuman hangat, yah?"

Di setiap langkah hingga Namjoon duduk menghadap Seokjin, ia merasakan canggung ketika menatap Seokjin.

Ini berbeda, Namjoon bisa merasakan atmosfer seolah meredup tak kala Seokjin menuangkan minuman beraroma menenangkan ke dalam cangkir.

"Seokjin—"

"Ada yang harus kita bicarakan, penting"

Berkali-kali menyelesaikan tugas kepolisian tentu membuat Namjoon teliti dalam menyadari sesuatu yang menjanggal, bahkan yang terkecil sekalipun.

Namjoon menjatuhkan pandangannya dengan raut sendu. Memutar balik pertanyaan dalam kepala yang kian membuat hatinya tak nyaman.

Penting? Namjoon membatin di sela matanya yang mulai berair.

"Dimana cincin mu, Seokjin?"










[...]

PARADOX WHISPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang