Chapter Thirty

1.9K 84 3
                                    

"Makanlah." Aku membantunya untuk duduk dan memberikan semangkuk bubur dan segelas teh untuknya, "Hati-hati, itu masih panas."

"Ah!"

"Sudah ku bilang, Anna. Itu masih panas, kau harus meniupnya terlebih dulu." Aku mengambil segelas air mineral untuknya.

"Thank you."

Dia menghabiskan makanan nya cukup lama. Aku disini hanya menonton nya yang tengah makan masakanku sendiri. Anna terlihat menggemaskan dengan pipi yang memerah karena panas tubuhnya, ingin rasanya aku menciumnya saat ini juga.

"Buburmu tidak terlalu buruk." Ucapnya tiba-tiba, "Akan ku anggap itu sebagai ucapan terimakasih darimu." Dia melirikku, "Thank you?" Aku terkekeh pelan sembari membawa mangkuk dan gelas tersebut kembali ke dapur.

"Kau sebaiknya beristirahat. Aku akan menelfon Floyd agar kau diberikan izin."

"Tidak perlu. Aku sudah terlalu sering izin, aku tidak enak dengan yang lain jika aku keseringan izin. Aku sudah mendingan."

"Tidak, kau harus beristirahat." Aku mengambil ponselku dan segera menelfon Floyd, "Nathan.." Desahnya.

"Aku cuma ingin memberitahukan mu kalau Anna sedang sakit, jadi dia tidak bisa bekerja malam ini."

"Anna sakit? Apa dia baik-baik saja sekarang?"

"Ya, dia sudah ku rawat. Kau tak perlu khawatir. Jadi, kau akan memberikan nya izin, bukan?"

"Ya, tentu. Tidak mungkin ku bi-"

"Ok kalau begitu." Aku mematikan ponselku dan menatap Anna, "Dia mengizinkannya." Aku duduk disebelah nya dan tiba-tiba saja ia bergeser.

"Aku sudah baik-baik saja, Nathan. Kau tak perlu berlebihan seperti itu."

"Apa kau perlu bercermin? Wajahmu sangat pucat, Anna." Dia memutar bola matanya dan seketika berdiri, "Kau mau kemana?"

"Bersiap-siap untuk kerja."

Aku mengejarnya dan menahan nya, "Lepaskan aku, Nathan." Ia menatapku dengan geram, "Bisakah kau tidak keras kepala, huh?" Aku menarik pinggul nya agar mendekat dengan ku, "Jangan membuatku mengkhawatirkanmu jika kau tetap keras kepala untuk bekerja."

"Aku tak membuatmu khawatir."

"Ya, kau membuatku khawatir." Aku menegaskan setiap kata yang aku ucapkan. Ia seketika membeku di hadapanku mencoba menyembunyikan wajah nya yang semakin memerah, "Kau terlihat menggemaskan jika sedang tersipu malu seperti itu."

"Lepaskan aku. Kau lupa jika aku masih marah denganmu, huh?!" Dia mendorongku menjauh, "Maafkan aku, ok?"

"Tidak. Ucapanmu tidak dapat aku maafkan, Nathan. Kau.."

"Aku brengsek. Ya, aku tau itu."

Kami sama-sama terdiam dan aku benci saat-saat ini. Ia tak membuka suaranya sama sekali dan hanya menatap lantai, "Anna.."

"Berhenti mendekati ku, Nathan. Aku tak akan mengganggu mu lagi, aku tak akan mengusik kehidupan mu lagi, aku tak akan-"

Aku menciumnya saat ia mencoba untuk pergi dariku. Tidak. Aku tidak bisa dan tidak akan mau. Entah kenapa, semenjak kami melakukan sex hari itu, membuat aku berpikir aku tak ingin kehilangan Anna.

"Nathan, mmmhh.." Aku kembali mencium nya saat ia menjauhkan bibirnya dariku. Aku merindukan bibir ini, aku merindukannya. Sialan! Aku tidak boleh jatuh di kondisi seperti ini. Aku tidak bisa. Aku melepaskan ciuman kami dan membiarkan nya menjauh.

The JERK From SEATTLEDove le storie prendono vita. Scoprilo ora