Chapter One

10.2K 247 0
                                    

Published on Tuesday, May 14th 2019
At 3:00 AM.

______________

London
January 12th, 2018

Aku menangis dan terus menangis disaat peti Ibuku akan di kuburkan. Cukup sudah kenangan ini aku alami 5 tahun silam, disaat Ayahku meninggal dunia karena sakit kanker yang ia alami.

Kini, Ibuku pula yang menyusul Ayahku ke surga. Ia mengalami kecelakaan mobil karena terlalu mabuk malam itu. Ya, kepergian Ayahku cukup membuat kami semua terpukul. Terutama Ibuku.

Ia adalah orang yang sangat kehilangan sosok Ayahku saat itu. Aku tentu saja terpukul dan merasa kehilangan, tapi tidak seperti Ibuku yang sampai-sampai mengalami depresi beberapa tahun belakangan.

Adikku, Larry White, kini memelukku dengan sangat kuat. Ia menangisi kepergian Ibu kami dan seakan tak rela.

"Ibu! Jangan tinggalkan Larry!" Teriaknya histeris. Aku cukup sangat terpukul mendengar tangisan adik laki-lakiku itu.

Aku memang sedih, tapi aku mencoba tegar dan menerima kenyataan bahwa Ibuku sudah bahagia disana bersama Ayah.

"Sudah, Larry. Kau tidak boleh menangis seperti ini. Bagaimana jika Ibu melihatmu seperti ini dan ia sedih?" Aku mengusap rambutnya dan menepis setiap air mata yang jatuh di pipi tembem nya.

Hatiku begitu tergores melihat Larry seperti ini. Aku harus apa, Tuhan?

Upacara pemakaman akhirnya usai. Aku segera membawa Larry pergi dari sini sesaat kami pamit kepada Ibu dan mengirim kan doa untuknya.

Aku terus memeluk Larry sembari berjalan masuk kedalam mobil. Larry tak henti-henti nya menangis dan memelukku. Ia begitu sedih dan aku juga, tentu saja.

Kami tiba dirumah beberapa jam kemudian. Paman dan Bibiku, Gerry dan Holly White menginap disini semenjak ibuku sudah dirawat dirumah sakit dua hari lalu.

Ibu ketahuan mengonsumsi obat terlarang semenjak setahun lalu dan kami semua mengetahui hal itu baru seminggu yang lalu. Betapa miris nya kami sebagai keluarga terutama aku dan Larry yang adalah anak nya baru mengetahui fakta bahwa Ibu kami mengonsumsi narkoba secara diam-diam.

"Anna?"

Aku mendongakkan kepala saat Paman Gerry memanggil namaku. Dia bahkan sudah cukup tua sekarang, setelah lama tak bertemu dikarenakan ia tinggal begitu jauh, yaitu di Seattle.

"Ya, Paman Gerry?" Sahutku.

Paman duduk di sebelah ku sembari mengelus rambut ku dengan lembut. Paman selalu menyayangi aku dan Larry seperti anak nya sendiri. Wajar saja, hingga saat ini Paman dan Bibi tidak bisa memiliki anak, sehingga Paman seringkali memperlakukan ku dan Larry seperti anaknya sendiri.

Paman menarik nafas kemudian berkata, "Kau dan Larry ikut Paman dan Bibi ke Seattle, oke?"

Alisku berkedut. Kenapa? Ada apa? Ini rumahku, aku bisa tinggal disini bersama Larry. Lagipula ini adalah peninggalan Ibu dan Ayah terakhir kali, bukan?

"Kenapa, Paman? Bukankah ini rumah kami?"

Paman Gerry mengangguk, "Ya, kau benar. Ini memang rumah kalian, tapi sayang sekali, Anna. Rumah ini sudah disita oleh bank."

The JERK From SEATTLEWhere stories live. Discover now