Kamar Hoseok cukup sederhana, dua ranjang bersebrangan—satu milik Jimin, sebuah meja belajar, lemari pakaian yang diletakkan agak dekat dengan pintu; menyebabkan kamar tersebut tidak bisa dibuka lebar-lebar, dan beberapa poster tokoh terkenal tertempel di sana. Suasana memang terasa sedikit pengap dan sesak, apalagi dengan lampu kamar yang agak temaram, namun bagi mereka, itu merupakan tempat yang nyaman bagi beristirahat pun melepas penat.

Jadi, duduk di kursi, dan menyalakan lampu belajar, Hoseok mulai membuka lembaran tersebut.

-Ibu yang selalu pulang malam dalam keadaan mabuk.

-Mengurus semua keperluan sendiri.

Ah, ya. Juga keperluan sang adik.

-Terlihat lebam di pelipis kanan, leher, dan juga lengan atas.
Korban mengaku terjatuh dari tangga, tergelincir.

-Adiknya dimarahi, penyiksaan dilakukan di kamar mandi, ia melerai. Tapi ikut dipukul. Tak ada luka di wajah, namun di punggung. Banyak luka memar. Ia bahkan kesulitan untuk tidur.

-Teman sebangku berkunjung ke rumah, ia tidak sekolah karena adiknya sakit demam.

Memandang satu halaman selama beberapa menit, desahan berat terdengar. Ia memijat dahi seraya bersandar pada kursi.

'Sampai kapan kau akan terus seperti ini?'

"Memikirkannya lagi?"


Suara lelaki yang berasal dari ambang pintu sukses membuat Hoseok menoleh, kemudian menegakkan punggung seraya menjawab singkat, "Berisik."

Mengusak rambut kasar, pemuda yang tak asing di mata Hoseok—karena sudah hidup bersama (tak jarang bertengkar) selama lebih dari sepuluh tahun, menghampiri sambil mendengus perlahan. Kemudian Jimin terduduk di atas ranjangnya.

"Kau ini terlalu memikirkan orang lain, Hoseok-ah ...."

"Dia memang begitu, keras kepala, tak mau mengerti orang lain, dan bersikap seolah dirinya yang paling benar. Kau tak lelah? Lebih baik urus saja dirimu sendiri, lebih bermanfaat." Jimin berkata dengan tubuh telentang, tak menatap Hoseok kendati pemuda berhidung boros itu tengah memerhatikan.

Hoseok gusar, tak terima dengan pandangan Jimin mengenai pemuda yang kini tengah menyita waktu dan perhatiannya. "Mulutmu itu ya, sok tahu." Dan berbalik, kembali menatap buku tanpa maksud.

"Memang kenyataannya begitu 'kan? Seberapa keras pun kau membujuknya untuk kembali, meski harus berlutut hingga menangis darah, Seokjin takkan pernah meninggalkan keluarganya dan kembali ke sini ...." Timpal Park Jimin.

Hoseok sedikit tercenung, kemudian kembali berbalik 'tuk melihat Jimin dengan alis yang sudah menekuk. "Kau tak ingin Seokjin-hyung kembali? Ke sini? Bersama kita? Seperti dulu?" Nada Hoseok sedikit meninggi, tekanan kata pun terasa oleh telinga Jimin.

"Keluarga itu telah menghancurkan hidupnya, Jim. Dan aku tak bisa melihat begitu saja! Aku tak terima dengan perlakuan kasar yang ia terima!" Bangkit dari tempat duduk, Hoseok pedar dengan Jimin yang bersikap seolah-olah tak peduli dengan masalah teman sekelasnya sendiri.

"Kau ini teman macam apa? Huh?! Bersikap tak acuh dengan teman sendiri, bahkan tak berusaha menolongnya?!"

Menaikkan satu alis setelah melihat Hoseok naik pitam, Jimin hanya tertawa remeh menanggapinya, "Astaga, kau pikir kau sudah benar dengan segala tindakan itu, huh? Kau merasa paling benar ya?" Dahi tertekuk, Jimin menatap Hoseok dengan pandangan intens, mata segaris itu tak menyalang, namun terdapat kesan seperti menggertak, "Dengar, Jung Hoseok." Lantas pemuda tersebut ikut berdiri.

BERILIUMOù les histoires vivent. Découvrez maintenant