"Serius lo?" Akhirnya aku bersuara lagi.

"Iya. Nggak mungkin kalau rapat ini di batalin. Ini bisnis gedeeeee banget, Kim. Ini penting buat kelangsungan Arcopodo Grup. Lo bersedia, kan?"

"Dengan senang hati," jawabku sambil meletakkan tangan kanan ke dahiku seperti memberi hormat pada bendera, meski aku tahu Brama nggak bisa lihat.

"Kok, lu bahagia gitu sih?" tanya Brama dengan nada curiga.

"Uhmm... anu... itu. Maksud gue, lo nggak perlu khawatirin soal kerjaan. Lo fokus dulu aja sama Ranu. Biar gue yang beresin kerjaan lo," kataku terbata-bata.

"Modus aja lu, Kumis Lele," sembur Brama yang kelihatannya sambil menyetir karena aku bisa jelas dengar suara klakson. "Bilang aja kalau lu mau sekalian pacaran," sambung Brama lagi setelah menghajar klaksonnya beberapa kali.

Aku tertawa garing sambil nyengir lebar banget. "Kan, sekalian, Bang," kataku. Aku menggaruk kepala yang tiba-tiba saja terasa gatal.

"Ya sudah. Take care, ya. Sorry gue nggak bisa nemanin," ujar Brama sebelum akhirnya memutus sambungan telepon.

Aku langsung melangkah dengan riang ke dalam boarding room. Aku memilih ke coffee shop dua puluh empat jam untuk memesan caramel macchiato sebelum terkurung berjam-jam di dalam pesawat. Sambil menikmti pesananku, aku mulai membuka ponsel dan mengirimkan pesan singkat pada Mr. Smith.

Kimmy P :
Good evening, Sir.
I'm Kimmy Pravena, Personal Assistance of Mr. Brama Meru.
I would like to inform you that Mr. Brama forced  to cancel the flight , due to family matter.
But I will still attend the meeting as representing of Arcopodo Grup.
Thank you.

Aku kembali meletakkan ponselku setelah mengirim pesan. Beberapa kali aku mengulang materi rapat sambil meneguk minumanku yang rasanya sangat enak. Baru aku akan meneguk lagi caramel macchiato di atas meja, ponselku sudah berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk ke dalam benda pipih berwarna putih susu milikku.

William S :
It's Ok, Miss Pravena.
See you in London.

Kukira, Mr. Smith nggak bakal balas pesanku. Ternyata dia ramah juga. Baguslah. Mungkin ini pertanda rapat akan berjalan dengan baik.

Jam dua belas lewat empat puluh dini hari, pesawat yang kutumpangi lepas landas. Jantungku melonjak kegirangan. Ada rasa gugup waktu mengingat ini adalah perjalanan jarak jauhku yang pertama kali. Kursi di sebelahku yang seharusnya diduduki Brama, kosong. Harusnya, kemarin aku terima saja tawaran Ranu agar kami berangkat dengan jet pribadi yang baru saja Brama beli. Jadi aku nggak perlu merasa sendirian diantara orang banyak begini. Nggak kebayang deh gimana nyamannya jet pribadi kalau kelas bisnis pesawat konvensionl saja sudah semewah ini. Kursinya empuk dan nyaman. Kami bisa menonton film. Ada wifi yang bisa terhubung dengan ponsel, tablet dan laptop.

Setelah melewati kurang lebih delapan jam di atas udara, akhirnya aku tiba di Abu Dhabi untuk transit. Nggak usah tanya gimana Abu Dhabi? Aku nggak tahu. Aku cuma duduk di dalam bandara, nggak kemana-mana. Di sini Baru jam enam pagi. Lagipula, aku hanya transit selama dua jam lebih lima menit.

Awalnya, untuk membunuh jenuh, kupasang ear plug dan mendengarkan musik dari Mp3 player. Waktu kulirik jam di pergelangan tangan kiriku, sudah jam sepuluh pagi, waktu Indonesia. Jadi, kuputuskan untuk  melakukan panggilan telepon dengan Jingga. Tadinya aku mau telepon Glenn, tapi sepertinya dia sibuk. Dia nggak menerima panggilan teleponku dari kemarin.

KIMMY ;Lost in LondonWhere stories live. Discover now