Save The Best For Last?

1.1K 72 3
                                    

Aku baru tahu bahwa hotel ini memiliki roof top restoran, Reyno tidak pernah memberitahukan tempat ini sebelumnya.

"Annora, anak mama, kamu cantik sekali malam ini, mama suka baju marun itu, cocok sekali denganmu," ujarnya sambil tersenyum di sela hidangan.

"Benarkan? aku juga suka, Ma, makanya langsung kubeli saat itu juga," jawabku agak bersemangat, membuat Reyno melirik dan tersenyum tipis.

"Bersama Nak Reyno, kamu semakin terlihat feminin, Sayang." Mama kembali tersenyum penuh arti, lalu meneguk secangkir teh hangatnya.

Reyno malah akhirnya terkekeh dan membuatku menyikut pinggangnya sedikit.

"Aku tetap seperti biasa, Ma, ini hanya karena kalian, bukan setiap saat juga aku begini," bantahku dengan pipi merona.

"Oh, begitu, ya? mama pikir kamu merubah image." Aku buru-buru menggeleng.

"Annora akan tetap memilih T-shirt dan jeans, papa masih meyakini itu," potong papa sambil menyuap dua sendok terakhir supnya.

Aku tak bisa lagi berkata selain tersenyum malu, lalu menatap Reyno yang masih menahan senyum dengan tangannya.

"Bagaimana? apakah makanan papa dan mama enak?" tanyaku mengalihkan.

"Enak sekali, baru kali ini mama mencoba jenis-jenis makanan ini."

Aku tersenyum menatap mama yang nampak berbinar, mama memang sama sepertiku, doyan makan. Apalagi ia juga senang memasak, mungkin setelah ini ia akan mencari tahu bahkan mencoba bereksperimen.

"Terima kasih atas jamuan makan malam ini, Nak Reyno," ujar papa sambil menatap ramah pria di sampingku.

"Saya juga sangat senang papa dan mama menyempatkan hadir dan menerima undangan ini."

Hah undangan? memangnya ...

"Karena maksud saya mengajak papa mama makan malam bersama yang mungkin sebelumnya sudah pernah saya sampaikan, adalah karena saya ingin menyampaikan niat saya untuk melamar Annora malam ini."

A-apa?!

***

Kendaraan Reyno melaju lambat malam itu, selain karena suasana begitu hening, ia nampaknya dengan sengaja melakukannya. Sedangkan aku masih menatap sesuatu di jari manisku. Bukan benda yang sebelumnya ia berikan, kali ini bentuknya petal dengan sebuah permata berwarna biru safir di tengahnya. Cantik sekali, benar-benar membuatku tak bisa berhenti menatap.

"Tampaknya kau menyukainya, sukurlah." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Sialnya pelupuk mataku kembali menggenang. Aku memilih untuk tetap menatap benda cantik itu tanpa menoleh.

"Aku tak menyangka, tadi itu ..." Kugigit bibitku kuat-kuat, namun payahnya bulir-bulir itu pun jatuh mengalir.

"Aku memang sudah pasti akan melakukannya cepat atau lambat, Annora, dan itu pun sudah dengan sepengetahuan papamu, jadi aku berusaha melakukan semua dengan baik, dan pada waktu yang tepat."

Akhirnya aku menoleh, dan menemukan senyuman manisnya yang lagi-lagi menghias wajahnya, masih bisa kutangkap walau mataku semakin buram oleh air mata.

"Jadi papa sudah tahu?" Reyno mengangguk santai. Buru-buru kuusap kedua mata hingga pipiku hingga kering.

"Papamu memberikan deadline sebenarnya." Ia terkekeh sambil menyalakan lampu sen ke arah kiri.

"Eh, jangan-jangan waktu papa memanggilmu empat mata itu, ya?" Lagi-lagi Reyno hanya tersenyum, lalu menepikan kendaraannya.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang