The Feeling of Sympathy

1.1K 85 4
                                    

Aku terbangun pagi sekali. Semalaman menunggu Reyno yang tak kunjung kembali membuatku tertelap, hingga merasa bertemu dengannya di dalam mimpi.

Tanpa berpikir untuk merapihkan rambut dan mencuci muka, aku langsung bangkit dan keluar kamar. Kutatap pintu kamar di seberang yang tertutup, kuketuk sekali, tak ada jawaban, akhirnya perlahan kubuka.

Reyno nampak terlelap di atas kasur. Masih dengan pakaiannya kemarin. Mungkin saking lelahnya ia lupa mengganti baju.

Aku menghampirinya perlahan, menatap pria yang masih tak sadar itu. Salah satu lengannya di perban. Lukanya kemarin. Aku menghela panjang menatapnya. Membayangkan betapa beraninya ia kemarin, mengambil resiko tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Perlahan aku naik ke atas kasur itu, lalu merebahkan diri di samping Reyno dan menatap wajah pulasnya yang damai.

Kasihan kamu.

Kuusap rambutnya. Napasnya tetap teratur. Kukecup keningnya. Ia masih terdiam. Aku pun semakin mendekat lalu memeluk tubuhnya dan membenamkan wajahku di dadanya. Reyno pun tersadar.

"Hmm, Annora?" aku semakin mengetatkan pelukan dan membenamkan diriku di tubuhnya.

Reyno yang masih mengumpulkan nyawa tersenyum sejenak, lalu balik merengkuh tubuhku. Hangat. Aroma Reyno di mana pun dan kapan pun tetap menenangkan. Lalu dengkuran lagi. Aku menengadah, menatap Reyno yang kembali terlelap.

"Bangun, sleepy head," protesku sambil mengecup dagunya. Reyno terkekeh dengan matanya yang masih terpejam.

"Apa maumu?" tanyanya. Aku mengecup lagi dagunya, lalu bibirnya, kemudian naik ke hidungnya. Reyno pun tersenyum. "Kau menggodaku ya?" Aku mengulum senyum tanpa menjawab. Mata Reyno perlahan terbuka, "dasar jahil." Ia mengecup keningku. Aku kembali memeluknya, Reyno pun kembali memejamkan mata. "Beri aku waktu sepuluh menit lagi," ujarnya tanpa membuka mata. Aku pun tersenyum pasrah, namun tetap di dalam dekapannya, di atas kasur itu.

Tanpa sadar aku akhirnya tertidur dalam pelukannya yang nyaman.

***

Aroma kopi membangunkanku. Seperti biasa, Reyno selalu memulai harinya dengan minuman itu.

"Eh, kapan kau bangun?" tanyaku bingung lalu bangkit sambil mengusap wajah. Rey sudah terlihat rapih dan wangi.

"Setengah jam yang lalu," jawabnya sambil menyesap.

"Kenapa tidak bangunkan aku?" buru-buru aku bangkit dari kasur Daryl, lalu merapihkan rambut dan bergabung bersama Reyno di atas sofa pada sudut kamar.

"Tadi Papamu tiba-tiba naik mencarimu, dan aku terpaksa buru-buru masuk ke kamar mandi dan merapihkan diri." Wajah Reyno nampak sedikit aneh, ia seperti menahan malu.

"Papa?" Aku menggigit bibir, lalu menghela. "Ya, sudahlah. Paling nanti aku ditegur," ujarku terkekeh.

"Kau lupa kita berada di mana ya?" Reyno berdecak lalu menyesap kopinya.

"Soalnya dari semalam aku menghawatirkanmu," ujarku diiringi wajah yang memanas. "Melihat tanganmu dengan perban itu, mengingat apa yang kau lakukan kemarin ... aku ..." Bibirku mendadak kelu. Reyno tersenyum menatapku yang terdiam. Pria itu pun menghampiriku dan bibirnya langsung menyapu bibirku.

Aku menyambut ciumannya yang terasa hangat dengan aroma dan rasa kopi. Wajahku semakin panas, melakukan hal ini di tempat yang berbeda rasanya cukup menegangkan. Dadaku berpacu.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang