Reyno ( part 3 )

3.9K 165 0
                                    

Malam itu aku kembali 'bermain' di meja pantry itu. Sambil menunggu suhu susu yang diuap hingga suhu 65 derajat celcius, kubuat beberapa cangkir espresso. Setelah selesai, kembali beralih pada susu itu, mengaduknya perlahan sambil menghilangkan gelembung di atasnya, lalu memindahkan susu itu ke sebuah mug jug berbahan stainless.

Aku memilih salah satu dari beberapa mug yang memiliki bagian mulut tuang terkecil, karena semakin kecil mulut tuangnya, semakin mudah juga untuk melakukan pouring (membuat gambar dengan cara menuangkan).

Untuk dua cangkir pertama kulukis sebuah daun dan bunga, lalu untuk yang ketiga aku menuangkan susu itu pada center espresso itu, kemudian mengambil motta pen, untuk membuat bentuk yang lebih detail.

Perlu konsentrasi penuh pada bagian ini, tanganku bergerak perlahan ke kiri dan ke kanan lalu melengkung membentuk sebuah pola, dan dalam waktu kurang dari lima menit, terbentuklah lukisan sulur yang menggulung dan rangkaian daun yang melingkar semakin kecil ke arah dalam. Aku bangkit dan berdiri tegak melihat hasil karya itu, lalu tersenyum. Kali ini lumayan.

Kakiku melangkah menuju kursi dengan dudukan bulat berwarna merah dan empat kaki panjang silvernya di sebelahku, lalu melirik ke arah ponsel dengan lima kali misscall di layarnya.

Kulihat "Ayah" pada keterangannya. Tak kugubris. Sambil menghela, kurogoh sekotak rokok di saku celana. Kali ini aku benar-benar menyalakan dan menghisapnya dalam-dalam.

Hampir satu jam, dan aku sudah menghabiskan empat batang, dan dua batang yang terlupakan dan habis diembus angin.

Sambil beranjak berdiri, kuambil beberapa gelas espresso bergambar yang telah dingin itu. Kutuang isinya ke dalam wastafel. Tapi dengan sedikit emosi dan tenaga yang membuat cipratannya tercecer ke beberapa arah. Kunyalakan air keran itu, sambil menunduk, membasuh kasar wajahku.

Hanya dalam waktu satu hari emosiku langsung seolah meluap. Perasaan inilah sebenarnya yang membuatku selalu ingin pergi menjauh. Memang sudah kukatakan kemewahan bukan hal yang spesial bagiku! aku menghela napas lagi, dan kali ini lebih dalam.

Atmosfir cafe saat itu sudah dipenuhi aroma tembakau. Sehingga sama sekali tidak membuatku menjadi lebih baik. Tapi aku membersihkan kembali semuanya. Setengah jam berlalu, akhirnya kuputuskan untuk pulang.

***

Semalaman aku terus tersadar. Kadang walau dalam diam aku tetap tak bisa menghentikan apa yang berkecamuk di dalam pikiran. Jam empat subuh aku bangkit dari sofa itu, membuka pintu kaca besar tepat di hadapanku. Tanpa berpikir panjang, kulepas satu persatu pakaian lalu loncat ke kolam biru berbentuk oval itu.

Aku terbangun dengan posisi tertidur lagi di atas sofa, tanpa baju, dan sehelai handuk yang hanya membungkus bagian bawah tubuh. Kulihat sudah pukul delapan pagi. Lalu naik ke atas kamarku. Lagi-lagi kulirik ponsel di atas kasur, memperlihatkan keterangan, yang kali ini sebuah email. Aku sempat terdiam dan memutuskan untuk meraihnya.

Beberapa menit setelah membuka, wajahku mengeras. Jariku meng-scrol ke atas dan ke bawah dengan cepat dan tak sabar, berkali-kali dengan mata yang gelap diliputi emosi.

Tanpa basa basi, sedetik kemudian kubanting ponsel itu dengan kasar ke arah lantai, membuatnya berdentum, lalu hancur dan mementalkan serpihan-serpihan kecil.

Ayah benar-benar sudah melewati batas. Aku mengeraskan rahang, mendengus.

***

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang