The Cabin House

2.7K 166 7
                                    

"Kau mau membawaku ke mana?"

Aku melihat remang lampu kota yang semakin menjauh di belakang, diganti dengan deretan pepohonan cemara dan pinus, lalu jalanan panjang yang lurus dan sepi.

Lampu jauh kendaraan Rey menyoroti jalanan yang tampak kosong dan gelap. Hanya satu dua kendaraan yang melintas.

"Kau menuju ke arah utara?" Reyno mengangguk santai, ia tetap menatap lurus mengemudikan kendaraannya.

"Pukul berapa sekarang?" tanyanya.

"Setengah sebelas ..." Aku menggigit bibirku. Ini memang sudah malam.

Sepulang dari cafe, kami membeli beberapa makanan dan minuman di mart, tapi setelah itu ia tidak mengantarku pulang. Tangannya membelokan setir memutar balik kendaraannya.

Aku sempat bingung dan bertanya. Reyno bilang ia akan mengajakku ke suatu tempat. Namun ketika aku bertanya di mana, ia hanya tersenyum.

"Besok kau ada kuliah?" kali ini Reyno menoleh padaku.

"Jam dua siang." Aku berkata sambil balik menatapnya. Ia mengangguk.

"Rey, serius, kau ini mau ke mana?" aku menghela antara penasaran dan tak sabar.

"Ke suatu tempat." Ia menjawab singkat.

"Ah, kalau begini kau benar-benar mirip Vivian." Aku akhirnya mendengus kesal.

"Vivian?" Reyno menaikkan alisnya.

"Yah, dia juga sok misterius ketika mengajakku ke hotel waktu itu. Jawabannya selalu "liat saja nanti", dan tau-tau aku malah menemukanmu di sana." Omelanku tampak membuat Reyno terkekeh geli.

Ia mengulurkan tangan kirinya yang bebas, dan menggenggam kedua tanganku yang mengepal.

"Kalau begitu, lihat saja nanti." Ia mengedipkan sebelah matanya padaku dan tersenyum jahil memperlihatkan lesungnya.

***

Kendaraan Reyno melesat cepat dan terus menuju ke arah utara, lalu naik menanjak melewati jalan yang sedikit berkelok.

Perjalanan kami kurang lebih memakan waktu 45 menit. Begitu sampai di dataran yang lebih tinggi, Reyno membelokan kendaraannya masuk ke arah sebuah komplek.

Tampak di pintu gerbang masuknya yang luas, dua buah pos dan dua buah gerbang hitam besar bergaya victorian yang memalang menutup jalan.

Reyno memberhentikan kendaraannya dan membuka kaca.

"Selamat malam, Pak." Sapa sang petugas. Reyno menjawabnya dan tersenyum. Petugas itu tampak
memicingkan matanya untuk mengenali. Sebelah tangannya sudah memegang sebuah sensor pendeteksi. Namun niatnya urung.

"Oh, Pak Reyno, silahkan masuk." Petugas itu akhirnya mengenali, dan memberi tanda ke arah petugas lainnya.

Salah satu petugas di dalam pos dengan sigap langsung menekan sebuah tombol di sampingnya, dan pintu gerbang itu pun terbuka otomatis.

Klakson kendaraan Reyno berbunyi dua kali ketika ia melewati mereka, di susul dengan anggukan hormat petugas tersebut.

Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Melihat bangunan di sekitar komplek itu yang dikelilingi rumah-rumah dengan jenis terrace house, modern house bahkan mansion dengan halaman yang luas, dan arsitektur yang menawan.

Tiba-tiba aku teringat. Kalau dugaanku tak salah, ini adalah kawasan perumahan elit yang terkenal itu. Aku sempat melihat iklannya di tabloid. Perumahan baru dengan jumlah kaplingnya yang terbatas, memberikan pemandangan city view dengan harga yang selangit.

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang