Nothing Else, But You

1K 77 3
                                    

Reyno hanya terdiam dan sesekali tersenyum ketika hampir setengah jam ia mondar-mandir melakukan pengecekan, memperhatikan detail, desain dan bentuk keseluruhan bangunan persegi itu.

"Bagaimana, Brother? everything's fine?" Calvin melipat tangan nampak exited memperhatikan Reyno yang speachless sejak tadi.

"This is perfect." Reyno akhirnya melepas senyuman dan menghela panjang. Calvin pun tertawa puas. Keduanya sempat saling pandang sebelum Reyno mengulurkan tangan untuk berjabat dan disambut oleh temannya itu cepat.

"Tidak sia-sia beberapa bulan ini. Kerja keras dan keringat ini akhirnya membuahkan hasil." Calvin terkekeh sambil menggeliat puas.

"Tidak hanya itu, aku selalu suka sentuhanmu di setiap desain yang kau buat. Light, clean, but still homey." Kali ini Reyno menatap ke atas, memperhatikan kombinasi tatanan lighting dengan dua warna lampu yang membuat suasana ruangan itu nampak terang namun nyaman.

Simple but classy.

"Tentu saja, homey is my specialist!" Mereka tertawa bersama.

"Thanks, you always do a great job, Cal!"

"You're welcome, Rey."

Apa yang bisa membuat Reyno lebih bahagia selain satu persatu rencananya berbuah hasil. Setelah sisa pekerjaan itu ia serahkan sepenuhnya pada Calvin, pada saatnya nanti, kejutan ini yang akan menjadi klimaks yang akan segera ia tunjukkan kepadaku.

Ya, setelah sejauh ini dibenaknya sekarang hanya ada aku. Tak ada lagi yang memenuhi pikirannya. Mungkin Reyno merasa dirinya semakin dibuat gila olehku karena mimpinya sendiri. Selama ini ia tak pernah benar-benar merasa memiliki seseorang yang amat sangat berarti untuknya, seperti saat ini, setelah aku hadir di hidupnya.

***

"Terima kasih, Pak Louise!" amplop itu kuterima dengan wajah sumringah.

"Sama-sama, Annora, oh, kudengar sidang akhirmu kemarin hasilnya memuaskan, Reyno sempat cerita, selamat ya." Pak Louise tersenyum sambil mengulurkan tangan, langsung kujabat sambil ikut tersenyum. "Kapan acara kelulusanmu?"

"Terima kasih, Pak, cafe ini juga telah menjadi andil besar dalam studi saya," ujarku tersipu. Pak Louise ikut mengangguk. "acaranya dua bulan lagi."

"Oh, akan kuusahakan untuk datang, jangan pernah lupa kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu, Reyno, Elsa dan Gavin." Aku mengangguk canggung. "Pintu akan selalu terbuka untuk kalian."

"Terima kasih, Pak."

Oh, aku tahu apa yang ia maksud.

Bahkan sejujurnya aku sendiri berat jika harus ikut meninggalkan tempat ini nantinya.

Tempat yang telah menjadi rumah keduaku, tempat aku bertemu Reyno dan menjalin semuanya hingga kini, mendapat teman-teman yang menyenangkan, melupakan masa lalu, menjadi mandiri dan membuat hidup ini lebih berarti.

Aku menghela ketika sudah sampai ke pintu ruangan staf. Entah kenapa mendadak perasaanku tak menentu. Aku membuka dengan sedikit lemas. Barang-barangku masih di dalam loker.

Mungkin setelah setor tunai aku akan jalan-jalan sebentar, menenangkan pikiran. Namun langkahku terhenti ketika seseorang sudah duduk manis di tengah ruang sambil menopang wajahnya. Tersenyum menyapa aku yang masih terpaku.

"Rey?"

"Yuk, pulang," ujarnya tak sabar, masih tersenyum dan benar-benar tak seperti biasanya.

"Tumben menjemput? ada apa? gak balik ke hotel?" kuhampiri pria itu lalu menarik kursi di hadapannya.

"Tidak, urusanku sudah selesai hari ini dan ingin segera ketemu kamu."

"Apaan sih, gak biasanya," kualihkan wajah yang merona, sedangkan Reyno terkekeh dengan sebelah tangan terangkat.

"Nih, semua sudah di sini, yuk, pergi." Aku menatap ransel hitamku di tangannya.

Diam-diam aku tersenyum kecil melihat tingkahnya yang tak sabaran itu.

Kenapa sih dia?

Malam itu perjalanan tak juga berakhir. Reyno terus membawaku ke arah atas, bukan ke rumah cabin itu, ia membawaku lebih ke atas lagi malam itu.

"Rey, ini semakin gelap." Setelah lama menatap sekitar akhirnya aku mulai khawatir.

"Sebentar lagi, Annora." Reyno tetap tenang menjawabnya. Aku pun kembali diam.

Malam itu hampir tengah malam. Setelah berhenti untuk makan sebentar, setelahnya ia langsung membawa kendaraan ini melaju kemari.

Diujung jalan tak lama terlihat remang-remang lampu yang semakin lama semakin benderang, lalu parkiran kendaraan yang ramai di sisi kanan. Gerombolan anak remaja, dan dewasa. Sayup-sayup aku juga mendengar alunan musik.

Tempat apa sih ini?

Aku menoleh ke arah Reyno, ia balik menoleh juga dan tersenyum.

"Kau tidak tahu ya?" Aku menjawabnya dengan gelengan. Ia kembali tersenyum. "Itu bagus."

"Rey, jangan bermain teka-teki lagi, tempat apa ini? apa masih baru?" tanyaku, sambil tetap memperhatikan sekitar, sesekali melirik Reyno.

"Ini kawasan kuliner. Sejarahnya aku tidak tahu, tapi sejak awal tahun daerah ini mulai ramai dibangun cafe, dan resto. Bar juga ada. Buka dari sore ke malam, peminatnya juga banyak. Rata-rata mahasiswa dan pekerja kantoran." Aku masih mencerna kata-kata Reyno sambil tetap melihat sekitaran.

Banyak sekali pengunjung yang datang, berebut parkiran, mencari cafe dan resto yang terlihat menarik, namun di sebuah corner, mataku mendadak terpaku. Reyno memang mengendarainya perlahan sehingga aku bisa melihat detail bangunan persegi itu lekat-lekat.

"Lucu sekali tempat tadi," ujarku masih dengan kepala memutar ke belakang.

"Yang mana?" Reyno melirik aku sepintas.

"Yang bentuknya persegi di ujung jalan. Eh, kita gak akan berhenti, ya?" kali ini Reyno terkekeh dan tetap menjalankan kendaraannya.

"Tidak malam ini, Annora. Aku hanya lewat, dan memberitahumu saja."

"Lho, kenapa?" Aku memberenggut kecewa. Kupikir bakal mencari dessert atau apa saja yang menarik.

"Karena aku ingin kita menikah dulu." Jawaban tak singkron Reyno membuatku mematung.

Kok ... tiba-tiba?!

"Bagaimana jika sebulan setelah kelulusanmu. Mungkin sebaiknya kita mulai membicarakannya." Aku masih terpaku, dengan mulut kelu.

Kenapa dia ini? berarti tiga bulan lagi? i-ini sih gila! dia benar-benar menunggu aku lulus ...

"Ki-kita pulang dulu saja sekarang kalau begitu, bicara di rumahmu saja." Akhirnya hanya itu yang bisa kupikirkan sekarang. Reyno pun kembali tersenyum tanda setuju.

Sepanjang jalan jantungku berdentum hebat, rasanya kepalaku membesar. Tangan kakiku dingin, tapi ... dibalik semua itu, sebenarnya aku merasa senang. Aku bahagia mendengarnya mengatakan itu hingga tidak tau harus berkata apa. Sepanjang jalan aku tidak sanggup bicara.

"Kuajak kau melihat tempat tadi memang ada maksudnya," Reyno perlahan memecah keheningan. "Tadinya aku cuma ngetest, siapa tahu kamu sudah tahu tempat itu." Aku hanya menggeleng dan tegap bergeming.

"Rey, yang aku gak ngerti, kenapa harus menikah dulu baru ke sana? kamu sadar gak aneh banget?" Akhirnya aku menatap pria itu lekat-lekat meminta penjelasan. Reyno pun terbahak, yang akhirnya membuat aku ikut tersenyum geli.

Ya memang aneh! benarkan?!

"Maaf aku belum bisa bilang apa-apa." Ia pun tersenyum memamerkan sederet giginya. Yah, senyuman jahil yang menyebalkan itu. Aku tahu ia akan tetap tutup mulut, dan semua kembali menjadi teka-teki.

***

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang