Pique And Evidence

2.2K 147 4
                                    

Anya dapat melihat wajah bosnya yang kali ini benar-benar menatap dirinya lekat. Tatapan tajam yang mengitimidasi. Walaupun selama dua tahun ia bekerja sebenarnya diam-diam ia mengagumi tatapan itu. Namun, ironisnya, ia tidak merasa senang saat ini. Hanya rasa tak nyaman dan kegugupan yang tidak biasa.

"Katakan, Anya." Reyno masih tak melepas Anya. Dan wanita itu lagi-lagi mengalihkan matanya ke beberapa benda yang bisa ia temui.

"Maksud Bapak? maaf ... saya tidak mengerti ..." Reyno menggebrak mejanya sekali, diikuti tubuh Anya yang ikut terlonjak dengan wajahnya yang sebisa mungkin dibuat tenang. Ia tahu, bos-nya tidak akan melakukan ini jika tidak punya alasan. Dan ia hanya mengulur-ulur waktu.

"Kamu adalah sekertaris saya, Anya. Saya percaya sepenuhnya padamu. Saya mengandalkanmu, karena kamu smart, cekatan dan bisa dipercaya." Reyno sedikit memberi penekanan di kata terakhirnya. "Itu alasan kamu tetap berada di sini sampai sekarang." Anya tidak berkedip. Ia perlahan menatap pria di hadapannya.

"Katakan, apa saya salah? ada yang terlewatkan? saya bukan orang yang senang berpikir dua kali untuk hal-hal yang sudah saya yakini."

Reyno menyodorkan sebuah kertas putih, tercetak bagan panjang, dengan rentetan angka-angka, berurutan sesuai tanggal, hari dan waktu.

"Dan seharusnya saya tidak perlu sampai melakukan ini." Ia melipat tangan dengan raut wajah yang serius.

Anya hanya bisa memandang terpaku. Wajah tenangnya perlahan memucat. Melihat beberapa lembar data keluar masuk panggilan yang sengaja di print out oleh Reyno. Sangat tertera jelas di sana. Dan ia tak bisa mengelak. Satu nomor beberapa kali tercantum di jam-jam tertentu yang ia terima dalam seminggu ini. Belum lagi panggilan di ponselnya, yang memang masih aman di dalam tasnya.

"Apa yang sudah kamu bicarakan dengan, Diana?" Reyno langsung masuk pada inti masalah. "Katakan pada saya sekarang, sebelum saya berubah pikiran terhadapmu." Nada suaranya menegas. Pertahanan Anya akhirnya runtuh. Percuma saja sekarang ia berkelit.

Reyno memang sengaja menekan sekertarisnya. Karena ia yakin wanita ini memegang kunci semua jawaban. Diana lebih banyak berkomunikasi dengan Diana.

"Schedule anda Pak, Ibu Anya selalu menanyakan itu." Anya menjawab setenang mungkin. Reyno memicingkan mata.

Ternyata benar.

"Kamu tahu, bahwa kamu tidak dibenarkan memberi informasi apapun tentang hal itu tanpa seijin saya?" Reyno melirik Anya tajam. Wanita itu mengangguk dalam kegugupan. Tangannya perlahan mengepal di bawah meja.

"Maaf, Pak, saya memang lancang. Ibu Diana mendengar beberapa gosip di kantor, dan sejak itu dia mulai bertindak. Tidak hanya saya, bagian resepsionis, bahkan supir. Ia beberapa kali kemari ketika anda tidak berada di tempat, Pak. Tidak ada yang berani menolak permintaannya. Termasuk saya sendiri, ia mengancam akan mengeluarkan saya jika ..." Anya berhenti di kalimat terakhir. Ia tahu bahwa seharusnya dari awal tetap melaporkan apapun yang terjadi kepada bos-nya ini. Bahkan walaupun dirinya harus dipecat.

Ternyata begitu. Ancaman murahan lalu gosip di kantor? Reyno terkekeh pelan.

"Dengarkan saya, Anya, berada atau tidaknya kamu di sini hanya saya, yang berhak untuk memecatmu. Apa kamu mengerti?" Anya mengangguk kaku sambil melipat bibirnya.

Ck! kenapa sekertarisnya mendadak bodoh seperti ini?

Reyno bangkit lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku. Ia menghela sambil kembali menatap Anya yang masih terduduk diam.

"Sekarang katakan, siapa saja yang berkaitan? berikan saya semua nama itu. Sekarang." Anya langsung buru-buru mengangguk.

***

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang