Sebuah Permohonan.

Start from the beginning
                                    

"Ya! Min Yoongi! Keluar dari kamarmu dan jelaskan semuanya!" Ia mengetuk pintu tanpa ampun, hingga sang empunya membuka sedikit celah 'tuk melihat.

Seokjin dengan setumpuk rasa khawatir ia mencoba menenangkan sang ibu yang tengah naik pitam, entah apa yang ada di kepala Min Hyeji, ia seperti kesetanan setelah menemukan sebuah buku pelajaran di atas meja.

Yang harus diketahui adalah; Min Hyeji tak suka bila ada yang berkunjung ke rumah.

"Ibu, kumohon ... Ini bukan salah Yoongi," sebelum melanjutkan, Seokjin melihat netra Yoongi tengah keheranan juga napas memburu—Yoongi kalut. "Sebenarnya, ia meminjam buku teman di sekolah, Hoseok. I-iya 'kan, Yoon?" Kemudian menatap lurus dengan tatapan mengiyakan.

Sang pemuda hanya mengangguk ragu seraya berkata lirih dan kian surut, "I-iya, ibu. Aku meminjamnya." Sama hal dengan Seokjin, Yoongi tak mampu bertatap muka dengan Min Hyeji.

"Hentikan. Seokjin, lepas." Ia menepis kasar lengan Seokjin yang sedari tadi menahannya.

Tatapan itu, sama sekali tak berubah. Dingin, kejam, tak berkilap, "Sini. Ikut ibu." Ia menyambar kasar lengan Yoongi, menyeretnya ke dalam kamar mandi dengan tenaga tak terelakkan bagi pemuda berumur enambelas tahun.

Seokjin juga berusaha menghentikan. Dengan sejumlah kata permohonan ia layangkan; memohon agar sang ibu tak berbuat sekeji ini pada darah dagingnya sendiri.


"Sudah ku bilang, jangan bawa siapapun ke rumah. Kau mengerti?!" Bentakan Min Hyeji terdengar oleh Seokjin di sebalik pintu. Sedangkan Yoongi tengah terdiam, tertunduk, pun dengan sekujur tubuh telah basah kuyup.

Usaha Seokjin mutlak terhenti kala Min Hyeji mendorong tubuhnya, menutup pintu hingga menimbulkan debuman nyaring disertai suara benda yang berbenturan dengan lantai.

Keadaan kacau.

Dan Seokjin hanya bisa setia menunggu di sana seraya memohon pada Tuhan agar tak terjadi hal mengerikan kepada orang yang ia kasihi. "Ibu ... Tolong, jangan seperti ini ... Kumohon bu. Yoongi tidak salah ...." Berkali-kali ia mengatakan itu dengan suara parau.














"Yoongi, maafkan ibu ... Ya?"

Seokjin bersigera menemui sang adik, tepat setelah Min Hyeji pergi.

Sang lawan bicara lagi-lagi hanya terdiam, tertunduk. Namun kini dengan wajah yang pucat. "Yoon, i-ibu tak bermaksud seperti itu ...." Netra Seokjin memandang lurus Yoongi yang tengah senyap di kamar mandi, entah kurun waktu berapa lama. Yang jelas, itu cukup membuat kulit keriput serta dingin menjalar di sekujur tubuh. "Ia memiliki pekerjaan berat ... Dan melihat rumah dalam keadaan seperti ini pasti membuat emosinya tak stabil." Lanjut Seokjin hendak menghampiri Yoongi.

Bergeming, Yoongi tetap di sana. Tak ada perubahan—memeluk kedua lutut.

Merasa ada yang janggal, Seokjin bergegas. "Yoon, kau tak apa?"

"Astaga, kau demam?!" Seokjin berkata, kalut setelah ia menempelkan punggung tangan di dahi Yoongi.





"Yoon, maaf ... Aku pergi tanpa memberitahumu, maaf aku tak tahu jika—" Kata itu tertahan, melihat Yoongi tanpa ekspresi sedang terbaring lemah di ranjang. Sungguh, ia khawatir; terlebih sudut bibir Yoongi yang lebam.

Helaan napas pelan dikeluarkan, Yoongi nampak tak tertarik dengan alasan yang dibuat Seokjin 'tuk menghilangkan rasa sakit terhadap Min Hyeji. "Yoon, maaf ... Semua ini salah—"

"Hyung." Ia membuka mulut.

Tanpa melihat sang kakak, Yoongi melanjutkan obrolan. Setelah sepuluh menit, akhirnya ia meladeni segala ucapan Seokjin. "Hentikan. Kumohon, jangan membelanya."

"Ta-tapi, Yoon. Kau tahu 'kan? Ibu bukan orang yang seperti itu ... Ia hanya sedang tertekan." Sanggah Seokjin.

Yoongi tampak tak terima, "Ya. Ibu itu baik, penyayang, lembut, perhatian ... Tapi kau tahu hyung? Aku sudah lupa semuanya." Dengan suara parau ia berucap, hendak mengeluarkan segala beban yang telah di pikul seorang Min Yoongi dalam kurun waktu satu tahun.

Tak lama, air di pelupuknya mulai berontak. "Aku lupa kata-kata lembut yang selalu ibu ucapkan, aku lupa wajah ibu yang selalu tersenyum kala kita pulang sekolah, aku lupa rasa masakan ibu di pagi hari, bahkan aku lupa bagaimana—"

"Rasanya ibu memelukku."

Sejumlah kalimat itu menusuk batin Seokjin begitu brutal. Kata yang menunjukkan jikalau Yoongi; tengah terluka karena Min Hyeji teramat sangat. "Hyung, aku ingin pergi dari sini. Semuanya tak lagi sama, ibu telah berubah. Ayah pergi, dan itu sangat membuatku terpukul ...." Ia berkata lirih seraya tak memandang Seokjin. Yoongi lebih memilih memalingkan pandangan dengan menahan isak tangis yang menguap bersama bongkahan emosi di udara.

Selama Seokjin hidup di keluarga Min, baru kali ini ia melihat Yoongi begitu rapuh dengan keadaan yang ada. Seokjin bisa merasakan rasa sakit yang mendera batin adiknya.

Yoongi bukan anak cengeng, ia bukan pengecut, pun bukanlah anak mama yang mengais-ngais perhatian. Asal kau tahu, Yoongi hanya lelah. Ia lelah dengan semuanya, sudah tak mampu menahan perasaan yang berkecamuk di relung hati.

Seokjin hanya bisa mengusap tangan Yoongi tanpa sepatah kata serta tangis tak tertahankan. "Sakit, hyung ...." Getirnya, "Aku merasakan sakit, sangat." Kini, Yoongi menatap sang kakak, dengan rasa sembilu yang tersirat lewat manik sabit itu.

"Kau terus menyuruhku untuk tetap bersabar, menghormati ia sebagaimana mestinya seorang ibu ... Tapi—" Yoongi menahan napas sesaat, "Kita bukanlah seorang anak di matanya." Ucap Yoongi.


"Jadi, tolong hyung. Aku mohon ...."









"Kita pergi dari sini."[]

BERILIUMWhere stories live. Discover now