23. Now You See Me

22.1K 947 7
                                    

Penis masih menancap di dalam tubuh Sisilia, Ambrosio menyayat ikatan penutup mata Sisilia di belakang kepalanya sehingga penutup mata itu jatuh dari wajah Sisilia. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap karena silau oleh cahaya lampu setelah beberapa jam dalam kegelapan.

"Ima anatawa watashi o miru!" seru Ambrosio dingin. Now you see me!

"Ah!" desah Sisilia ketus sambil memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya rapat-rapat.

Sepertinya Sisilia masih menolak melihat wajahnya. Ambrosio memotong tali pengikat tangan Sisilia dan pengikat kedua kakinya. Lalu ia membawa Sisilia dalam dekapannya menuju ranjang yang besar dan empuk di kamar hotel tersebut.

Sisilia terpekik kecil saat tubuhnya diangkat. Sebelah tangan Ambrosio mendekap pinggulnya, sebelahnya lagi mengangkat pantatnya, sekilas dilihatnya dari sudut matanya, laki-laki ini membawanya menuju tempat tidur.

Kenapa Sisilia menolak melihat wajahnya? Ambrosio bertanya-tanya. Yang pasti bukan karena wajahnya jelek, kan? Gadisnya ini, memiliki ketakutannya tersendiri. Mungkin takut pria yang disukainya kelak tidak menyukainya lagi, jadi dia tidak ingin mengingat wajah laki-laki itu? Mungkin saja.

Yang jelas, Ambrosio tidak terima, sebagai laki-laki yang berwajah sangat tampan, tapi pasangannya malah tidak ingin melihat wajahnya. Apakah pernah Sisilia bercinta dengannya dengan menatap wajahnya yang sebenarnya? Tidak pernah. Mereka selalu melakukannya saat ia bertopeng dan kali ini, Sisilia dengan mata tertutup.

Jika ia menginginkan Sisilia, haruskah ia selalu mengenakan penutup wajah? Tentu tidak, kan?

Ambrosio menjatuhkan tubuh Sisilia di ranjang. Sisilia mengambil kesempatan itu untuk memukuli dada Ambrosio, mendorong dan menginjak laki-laki itu agar tubuhnya lepas dari batang laki-laki itu.

"Yarou!!" maki Sisilia.

"Sisi...." gumam Ambrosio menahan marah tapi Sisilia tidak berhenti juga memukulinya dengan mata terpejam. "Sisilia!!" bentaknya sambil menangkap tangan Sisilia dan menahannya di sisi kepala Sisilia yang terbaring di bawahnya.

Secara refleks, Sisilia diam dan menatap tajam pada Ambrosio. Nafasnya tersengal menahan marah. Giginya gemelutuk. Apa lagi yang diinginkan laki-laki ini darinya?

Ambrosio melemah melihatnya. Ia membalas tatapan Sisilia dengan sorot lembut dan penuh kasih. Ia tidak ingin jauh-jauh bertemu Sisilia hanya untuk membuatnya marah dan membencinya.

Sekarang Sisilia melihat padanya. Wajah yang tampan, hidung mancung dan bibir tipis yang tampak rileks, sorot mata hitam yang lembut, dengan rambut hitam cepak berponi acak-acakan, biasanya rambut itu tersisir licin ke belakang. Biasanya dia hanya mengagumi rahang yang tirus, jakun yang membuat lehernya jenjang, yang bergerak turun naik saat bernafsu melihatnya, tubuhnya yang atletis, berotot kencang, dada bidang, bahu lebar dan paha yang kencang serta penis yang menggiurkan. Sekarang dia melihat orangnya secara keseluruhan. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Apa kelak dia bisa melupakan orang ini? Sisilia berharap dia bisa.

"Mataku hanya melihat padamu, Sisilia..." kata Ambrosio "Aku ingin kau juga begitu..." Ia lalu menurunkan wajahnya hendak mencium Sisilia, tetapi gadis itu berontak dan berusaha turun dari ranjang.

"Shitakunai!!" pekik Sisilia. Tidak mau! Dia hendak berlari, tetapi Ambrosio mendekap erat tubuhnya dari belakang.

"Sisilia!!" seru laki-laki itu seolah-olah ia tersakiti melihat Sisilia berusaha menjauhinya. "Gomenasai..." desahnya "Kita memulai ini dengan cara yang salah, tapi aku tidak bisa melepaskanmu, Sisilia, seberapa kuatnya aku mencoba, aku tidak bisa, aku ingin mati saja rasanya. Gomen... aku menjadi egois...".

Tubuh Sisilia melemah mendengar kata-katanya. Kenapa hatinya melembut setelah mendengar permintaan maafnya? Apa dia telah terpikat kata-kata manisnya? Tiba-tiba saja Sisilia merasa iba padanya.

Ambrosio membalik tubuhnya sehingga mereka berhadapan, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan mencium bibirnya lembut. "Kita bercinta berkali-kali dan kukira itu cukup, tapi ternyata aku salah, aku malah semakin mengingkanmu, lebih dan lebih setiap harinya..."

"Cukup kata-kata mutiaranya, Ambrosio!" bentak Sisilia sambil menepis tangan Ambrosio. Kenapa dia mesti berhubungan dengan laki-laki yang – ternyata – sentimentil? Sisilia geleng-geleng kepala sendiri. Bukankah biasanya laki-laki tidak pandai berkata-kata romantis. Cukup dengan 'Aku menginginkanmu, ayo kita nge-sex!' Blah!

"Ah!" Sisilia terpekik tertahan ketika Ambrosio mendudukkannya di meja rias yang dilengkapi cermin lebar dan tinggi. Tangannya membuka kaki Sisilia dan dengan cepat Ambrosio memasukkan penisnya lagi ke dalam tubuh Sisilia, membuat tubuh gadisnya melengkung dan lengannya dicengkram kuat oleh Sisilia. 

"Aahh...!" Sisilia mendesah menahan sakit. Dia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Ambrosio, namun dia malah melihat wajahnya sendiri dan wajah Ambrosio di cermin.

Wajah laki-laki dan perempuan yang terlihat tak tahu malu, bersemu dan mata nanar karena birahi, dengan tubuh bertaut dan mengenakan kulit kelahiran mereka. Bugil, bersetubuh, dan terlihat menikmatinya.

"Ah!" desah Sisilia lagi sambil memalingkan wajahnya ke arah lain, tetapi di tahan tangan Ambrosio.

"Jangan berpaling dan jangan menutup mata, Sisilia..." ujar pria itu, nyaris mendesah karena larut dalam kenikmatan dalam tubuh Sisilia. Mata hitamnya lebih gelap, dingin dan dalam.

"Lihatlah aku..." desahnya sambil mencium leher Sisilia. Sisilia menatapnya melalui pantulan cermin.

"Lihatlah dirimu..." lanjut Ambrosio sambil menutup matanya dan menciumi dada Sisilia dengan penuh pemujaan.

"Lihatlah kita....." Tangannya melingkari pinggul Sisilia, lalu ia menghujamkan penisnya kuat ke dalam Sisilia.

"Ah!!" Sisilia terpekik lemah, kakinya melingkar dan mengunci kuat pinggul Ambrosio. Tubuh mereka bergetar hebat karena dorongan Ambrosio. Dia melihat pantulan mereka berdua di cermin dan perlahan mulai berkabut karena mereka tersesat di alam lain. Saling mendekap dan desahan yang bersahutan menjadi bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. 



Play In Deception (END)Where stories live. Discover now