Tujuh belas GADUH

4K 959 69
                                    

Bau menyengat ruang rawat sebuah rumah sakit, barang kali adalah hal yang biasa bagi Gemintang. Tapi itu saat dia menangani pasien-pasiennya, bukan seperti sekarang saat dia terkulai lemah. Tangannya menjambak keras lengan Angger yang terlihat duduk dengan wajah yang berusaha sebisa mungkin terlihat tenang.

"Bagaimana hasil observasinya, Mas?"

Angger terlihat berpikir.

"Mas! Bagaimana hasil observasinya?"

Gemintang melenguh kesakitan. Sakit yang datang semakin sering mendera perut bagian bawahnya. Pinggangnya terasa panas. Dia merasa seharusnya tak perlu menanyakan apa yang akan terjadi pada janin yang di kandungnya. Dia sudah tahu. Kecil kemungkinan bakal anaknya itu akan selamat. Dia tahu, jarak kontraksinya semakin menyempit dan bertambah sering.

"Dia harus dikeluarkan, Gemintang. Untuk keselamatanmu."

Gemintang membuang muka ke kanan, menghindari tatapan prihatin Angger di sampingnya. Cekalan tangannya luruh dari lengan Angger dan menjangkau seprai berwarna hijau toska di ranjang rawatnya.

"Aku...akan hidup dalam bayang-bayang ketidaktahuan. Anak siapa dia ini, Mas?"

Gemintang berbisik lirih nyaris seperti dia berkata pada dirinya sendiri.

"Anakku, Mi. Kita akan tetap dan terus berpikir dia adalah anak kita."

"Bisa saja..."

"Hentikan, Mi. Dia anakku. Cukup."

Angger menatap kuku jari tangan Gemintang yang memutih. Tangannya mencengkeram seprai. Tanda sakit itu akan datang lagi. Bukan sebuah mitos ataupun hanya kata orang, bahwa keguguran membawa dampak rasa sakit beribu kali lebih besar dari saat fase pembukaan hendak melahirkan normal. Apalagi untuk Gemintang yang tengah dalam keadaan tubuh yang tidak prima.

"Dokter Pananggalih, kami harus memindahkan dokter Gemintang ke ruang tindakan."

Angger menoleh. Dua orang perawat sudah berada di sampingnya. Angger beranjak dan mempersilahkan perawat itu mengurus Gemintang.

Angger menatap pintu kaca abu-abu di hadapannya. Tak butuh untuknya berpikir keras tentang siapa Ayah dari anak itu. Menurut perhitungannya, berdasar usia janin di rahim Gemintang, anak itu adalah anaknya. Dan...kalaupun semua meleset, maka janin itu tetaplah anaknya. Penderitaan Gemintang tidak perlu ditambah lagi dengan sebuah keraguan. Apalagi hanya untuk memikirkan bahwa janin itu adalah hasil perbuatan biadab seorang Pananggalih lain yang sakit jiwa. Rasanya, tidak adil kalau janin yang tak berdosa itu harus mendapatkan ketidakadilan bahkan ketika dia harus tidak terselamatkan.

Angger terhempas di kursi ruang tunggu. Lalu lalang perawat yang mengangguk ke arahnya hanya mendapatkan tatapan matanya saja. Tanpa ekspresi bahkan untuk sekedar sebuah senyuman.

Angger menatap ponselnya. Hilmawan, Ayah Gemintang sudah dalam perjalanan dari rumahnya. Angger tahu, pria itu murka. Penderitaan Gemintang yang bertubi sesungguhnya berasal dari dirinya. Angger--lah sebagai awal mula semua ini.

Kampus. Bertahun lalu. Ketidakberdayaannya sebagai pria yang harus selalu mengalah pada saudara tirinya. Hingga dia harus merelakan wanita yang ditaksirnya menjadi korban kegilaan kakak tirinya yang mempunyai bibit gila dalam jiwanya!

"Bagaimana keadaan Gemi, Ngger?"

Angger tersentak. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Hilmawan di sampingnya. Dia sedikit lelap. Bagaimana tidak? Dia kehilangan waktu tidurnya nyaris beberapa hari. Semua kacau. Dan begitu dia bisa melihat Gemintang, alam bawah sadarnya merasa lega. Dan dia merasakan kantuk itu.

"Dokter sedang menanganinya, Pak."

"Aku akan diam sekarang, Ngger. Demi anak perempuanku. Tapi setelah ini, tidak ada satupun dari kalian yang mempunyai embel-embel Pananggalih boleh mendekati anakku. Dan itu termasuk kamu di dalamnya. Camkan itu."

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang