Sembilan Puluh Lima MAYAT DENGAN LABEL B196

3.5K 706 197
                                    

*Lorong rumah sakit yang lengang itu ibarat makanan sehari-hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
Lorong rumah sakit yang lengang itu ibarat makanan sehari-hari. A daily basis kalau orang luar bilang.

Gemintang memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya dan menunggu Angger yang sedang berbicara dengan kepala penyidik dan seseorang dari bagian forensik rumah sakit.

Gemintang menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menunduk. Sebuah pemikiran menggelitik hatinya. Tentang banyaknya sineas Indonesia yang sering sekali melakukan kesalahan saat menggambarkan suasana menjelang pengidentifikasian jenazah. Orang-orang datang langsung menerobos untuk melihat apa yang perlu dilihat? Itu hanya ada di film dan sinetron. Indonesia.

Kenyataannya tidak begitu. Banyak prosedur yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa masuk ke ruang penyimpanan jenazah sebuah rumah sakit. Mereka harus mengisi daftar hadir, menerima penjelasan dari kepolisian, orang-orang dengan terkait ruang penyimpanan jenazah dan bila diperlukan, pendampingan secara psikologis dari pihak rumah sakit. Dan mereka juga harus memenuhi protokol memasuki ruang penyimpanan jenazah seperti membersihkan tangan dan memakai baju khusus.

Gemintang mendongak dan seketika lamunan tidak pentingnya terputus. Dia melihat Galih dan Wiji muncul dari belokan lorong. Mbak Wiji menyedekapkan tangan dan menghampirinya.

"Gimana, Mi?"

"Sebentar lagi, Mbak." Gemintang menunjuk Angger dengan pandangan matanya. Mbak Wiji ikut menyandarkan tubuhnya ke dinding dan meletakkan kepalanya ke bahu Gemintang. Jelas sekali dia gelisah dan menatap suaminya yang sudah bergabung dengan Angger.

"Ayo Mbak." Gemintang menyenggol bahu Mbak Wiji ketika sudah mendapat kode dari Angger. Mbak Wiji menegakkan tubuhnya dan termangu.

Langkah Gemintang terhenti ketika Mbak Wiji justru menahan lengannya. "Mi, kalau benar itu Kirani...gimana?"

"Kita tidak akan tahu kalau belum memeriksanya, Mbak. Tenang dulu ya. Kalau misal sekiranya ga kuat, Mbak Wiji tunggu di sini. Gimana?"

Mbak Wiji menggeleng. Dia meraih tangan Gemintang dan mereka berjalan menghampiri Angger dan Galih. Seorang perawat ruang penyimpanan jenazah mendorong sebuah pintu baja di depan mereka. Pintu itu berderit menimbulkan suara yang memilukan.

Mereka mencuci tangan secara bergantian. Gemintang lalu membantu Mbak Wiji memakai sebuah baju yang seperti sebuah plastik transparan. Mereka berjalan lagi di sepanjang lorong dan sampai di depan sebuah pintu lagi.

 Mereka berjalan lagi di sepanjang lorong dan sampai di depan sebuah pintu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang