Lima Puluh Satu BUNGKAM

2.7K 759 97
                                    

Penulis itu kalau lama ga update :

1. Sibuk
2. Malas
3. Meninggal

Aku ngapain?

Aku malas teman-teman

Itu kenyataannya

Selamat membaca

Semoga kalian semua dipanjangkan umurnya. Aamiin allahuma aamiin







Teka-teki sarung tangan yang membuat Angger menghela napas lelah. Dia baru saja keluar dari Kantor Pos setelah hanya sekedar menatap sarung tangan dalam sebuah kotak di loker penyimpanan. Angger buru-buru keluar dari kantor pos dan pulang ke rumah. Dia masih sempat melemparkan sarung tangan karet yang tadi dia pakai untuk membuka loker dan kotak kayu tempat sarung tangan itu disimpan, ke tempat sampah di tepi jalan.

Masuk ke rumah dan mendapati Ibunya yang berdiri di depan kompor. Wanita itu memasak seperti biasanya. Terlihat tenang. Mungkin dia belum menyadari Angger mengambil kunci loker Kantor Pos dari tas nya. Ibunya itu pergi ke pasar ketika Angger mengambil kunci itu.

"Dari mana Ngger?"

"Depan, Bu." Angger terhenyak dan berpikir. Dia tidak mungkin mengembalikan kunci itu ke dalam tas karena Angger berpikir, bisa saja Ibunya itu sudah mengetahui bahwa kunci itu hilang dan kalau kunci itu kembali ke tasnya, Ibunya pasti akan menaruh curiga.

Angger berjalan di lorong. Dia berjongkok dan meletakkan kunci itu di lantai kayu dekat pintu kamar Ibunya. Samar. Terlihat seperti terjatuh tanpa sengaja. Angger berbalik dan merutuk. Hal sepele seperti itu saja bisa jadi sangat mendebarkan.

"Kamu libur atau masuk apa, Ngger? Ayo sarapan dulu sudah siang."

Angger yang sudah kembali ke ruang tengah berbelok memasuki ruang makan. Dia duduk dan mulai mengambil makanannya. Angger menatap Ibunya yang sibuk membenahi lauk di meja makan. Dan sekali lagi Angger terhenyak samar ketika dia merasa bahwa dia tidak menemukan Ibunya yang dulu pada sosok yang sama itu.

"Libur?"

"Iya, Bu."

"Ada acara ga? Apa ada rencana sama Gemintang?"

"Ga ada, Bu. Habis ini mau pulang ngurusi persiapan 100 hari. Nanti sore mau jenguk Bapak. Itu saja."

"Huum...apa itu dibuat mewah-mewah?"

"Apanya?"

"Seratus harian Ibu tiri mu itu."

Angger termenung. Nasi yang sudah berada di mulutnya terhenti sesaat sebelum dia mengunyah lagi. Angger mau tak mau merasa heran dengan nada iri yang kental dari kalimat yang muncul dari mulut Ibunya itu.

"Ibuk kan tahu Mas Galih. Dia tidak suka hal-hal yang begitu."

"Ya berarti dia tahu tempatnya."

"Apa maksudnya, Bu?"

Angger memperhatikan gerakan tangan Ibunya yang terhenti. Wanita itu menggeleng. Angger menghela napas panjang. Dia memutuskan untuk meneruskan sarapannya. Mereka akhirnya berdiam diri dan Angger benar-benar keluar dari rumah Ibunya selang beberapa menit kemudian. Bukan untuk melakukan apa yang dia katakan pada Ibunya. Tapi Angger melajukan mobilnya menuju sebuah rumah di Jalan Solo.

Kediaman Seno Gardhapati

Paman dari pihak Ibunya itu sudah menunggu. Agger tidak merasa menyalahi aturan apapun terkait kunjungannya itu. Dia mengunjungi keluarganya. Setidaknya begitu yang akan dilihat oleh orang lain. Juga oleh seorang abdi dalem Gardhapati yang menatapnya heran dan membawanya ke sebuah ruangan dengan tirai beludru berwarna merah darah.

DARI BALIK KELAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang