Berenike menjepit dagunya menggunakan telunjuk dan jempol, air mukanya berubah seserius Iason.

"Aku menduga sesuatu yang lebih mengerikan, meski itu mungkin saja," ujar Berenike.

"Apakah, pikiran kita sama, gadis kematianku." Tahu-tahu Iason sudah berbalik dan menyeringai ke Berenike.

"Hentikan sebutan menjijikkan itu,  memang kau berpikir apa?" ketus Berenike yang sebal dengan Iason karena laki-laki itu kembali ke mode penggoda.

"Bahwa ada penyusup di EC London?" Seringaian Iason tambah melebar saat Berenike membelalak, mengartikan bahwa dugaannya benar.

Nyonya Rose dan Chelsea yang mendengar itu memasang muka khawatir, mereka terlalu merepotkan tentang kaitan antara Stepehenie dan Rudolf, Iris, serta anugerah Artemis yang menurut Hermes ada di London. Seharusnya mereka memikirkan kemungkinan yang lebih buruk itu.

Dokter dan suster yang tadinya mengurusi Iris sudah selesai, begitu dua orang itu keluar ruangan, semuanya segera berdiri dan menghadap dua tim medis itu.

"Kami hanua mendeteksi bahwa dia kelelahan, tetapi staminanya sudah sedikit pulih mungkin karena dia memgaktifkan kalung Kharites di lehernya."

Nyonya Rose rasanya ingin menambahkan  'ya memang begitu, Dok.', tapi ia buru-buru menelannya, justru malah berujung mengangguk mengikuti  saran tim medis untuk membiarkan Iris tidur dulu.

"Mari ke kamar kalian," ajak Berenike.

*

Suara dentuman musik segera menyambut lelaki tua itu saat dua orang pria berperawakan kekar mempersilakannya masuk hanya dengan memandang wajah dan pakaiannya.

Di dalam kelab malam itu cenderung  gelap, sementara lampunya digantikan dengan kerlap-kerlip cahaya berbagai  warna yang tentu saja membuat mata orang tua itu kesusahan melihat dengan jelas. Matanya yang sudah mengalami fungsi penurunan itu  melihat ke sekeliling. Memerhatikan para perempuan dengan pakaian ketat menggoyangkan seluruh tubuhnya, menemani pria-pria di sofa sembari menyilangkan kakinya, ada juga yang bergelayut manja di depan meja bar, ikut  meminum bersloki-sloki cairan memabukkan yang menghangatkan tubuh mereka di musim dingin. Sembari bergurau dengan topik 'mari menghangatkan tubuh bersama di musim salju, sayang'.

Kakek tua itu mengelap rambut berubannya yang klimis sambil mendesah geli. Mencari wanita di kelab malam baginya kurang memuaskan bagi kantung dan gengsinya, lebih baik mencari wanita malam di dalam kasino.

"Halo, Pak Tua!" Tiba-tiba saja bahunya dirangkul oleh sebuah tangan milik seorang wanita.

Bau alkohol menguar dari mulutnya, pria tua itu mendesah dan mengusir lengam wanita itu pergi sambil mengibaskan bau alkohol yang mampir di indra penghidunya.

"Alkohol murahan," gumamnya.

"Ya ya, terserah lah, Pak Tua." Wanita itu mengapit sebatang rokok di mulutnya,  lalu menyalakan pemantik dan membakar ujung batang tembakau itu. "Kutebak seleramu adalah vape yang mahal, jadi aku tidak usah repot-repot menawarkan rokok ini," ujar wanita itu.

"Sekarang, aku harus duduk di mana?" Pria tua itu tak repot berbasa-basi.

"Di sana," ujar wanita yang tadi merangkulnya sambil menunjuk sebuah sofa beludru dengan kayu berukir di ujung ruangan.

"Jangan biarkan wanitamu itu memegang jasku, oke?" pinta pria itu sambil berlalu.

"Cih," Ia mengibaskan rambut pirang panjangnya, sebuah tato di lehernya  yang terdapat bekas cupang sempat terlihat, lalu ia berjalan ke sisi lain ruangan yang cenderung sedikit lebih gelap dari ruangan tadi.

Wanita itu melangkah tanpa ragu jatuh atau salah orang, menuju ke seorang lelaki yang telah menanggalkan pakaian atasnya sedang bercumbu dengan seorang wanita berkucir kuda seperti penyanyi ternama.

Tanpa ragu-ragu, wanita perokok itu menepuk bahu mengilat lelaki yang ia tuju. Laki-laki itu menoleh.

"Apa masalahmu,  Lizzy?" tanyanya, tampak kesal.

"Dia datang, bro," ujar Lizzy sambil bergerak ke sebuah lemari yang hampir tidak terlihat karena gelap dan menyaru dengan dinding, ia mengambil sebuah koper.

"Sial! Kita lanjutkan urusan kita nanti ya,  Sayang." Laki-laki yang sama-sama bertato di leher seperti Lizzy mengecup sebentar bibir wanita itu yang mencebik kesal sambil terengah-engah.

Lizzy menyusul pergi, mengekor laki-laki di depannya yang berjalan ke sebuag sofa tanpa memakai sehelai kaos. Menunjukkan dada, perut dan punggung idaman wanita--dan tentu saja favoritnya juga. Tanpa kaos, tentu saja bagian itu yang menonjol juga terlihat, tapi seisi ruangan tidaklah terlalu terang, toh semua juga sudah asyik dengan pasangan masing-masing.

"Kabar baik bukan,  Pak Tua?" panggilnya.
"Ya, mereka sudah pergi ke Yunani, sebaiknya kalian segera ke lokasi Tekhne yang kedua kan?" balas Pak Tua--lagi-lagi tanpa basa-basi.

"Itu berarti, misimu berhasil," laki-laki itu mengambil koper dari tangan Lizzy, menyerahkannya ke atas meja. "Bagianmu, sesuai perjanjian, sekarang  pergilah karena aku ingin bermain-main." Laki-laki itu berlalu pergi ke tempatnga tadi.

Lizzy hanya memainkan matanya sambil mengedikkan bahu. Pria tua itu juga undur diri tanpa ucapan apapun. Lizzy mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

"Halo, Lucy?"

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang