2

6K 770 100
                                    

Sudah selesai ibadah, 'kan? Aku menunggu di minimarket dekat gereja.

Lalu gadis itu menekan tombol kirim di ponsel pintarnya, baru benda tipis berwarna putih itu ia letakkan di meja. Mulutnya kembali berkonsentrasi merasakan rasa segar, asam, dan hangat dari yoghurt yang dibelinya.

Iya hangat, sebetulnya Jane sebal karena tidak ada yang menjual yoghurt hangat, terlebih suhu semakin dingin, daun terakhir bisa gugur kapan pun. Jadi, ia selalu membayar dua minuman, kopi hangat dan yoghurt. Setelah meletakkan kopi di meja, ia memasukkan gelas yoghurt ke dalamnya, menunggu panas kopi berpindah ke yoghurtnya. Ia bukan penikmat berat kafeina, tidak suka rasa asam teh yang menurutnya tidak segar ataupun rasa pahit kopi. Ia tetap memilih yoghurt--terutama yang rendah lemak dan rendah gula--dan keju.

Suapan yoghurt kelimanya ia tunda karena melihat Iris berlari menembus kerumunan jemaat. Ia melambaikan tangan agar Iris melihatnya.

"Duh, maaf-maaf, menunggu lama, 'kah?"

"Tidak." balas Jane. "Aku justru berharap agar lebih lama lagi sehingga aku akan menambah stok kopi untuk menghangatkan yoghurt."

Iris melirik dua gelas di meja, gelas kopi yang memenuhi setengah wadahnya, juga gelas yoghurt yang kotor karena dicelupkan ke dalam kopi. Iris masih tetap saja mengernyit dengan cara aneh Jane.

"Kau tidak mau duduk?" tawar Jane.

"Sebentar, aku mau membeli roti dan kopi." Iris berkata sambil lalu.

Saat Jane menoleh, Iris sudah lenyap. Ia mendesah berat, harusnya ia titip yoghurt satu gelas lagi.

Sekitar satu menit kemudian, Iris sudah selesai berbelanja dan menghabiskan kopinya dengan sekali teguh.

"Uh, lumayan panas," ujar Iris.

"Lalu, roti itu?" tanya Jane sembari menunjuk ke tas plastik berisi roti.

"Cemilan," ujar Iris sambil terkekeh.

"Oh." Jane mengangguk paham.

"Ayo kita berangkat sekarang!"

Lalu mereka mulai berjalan. Mencari halte terdekat untuk menikmati London menggunakan bus tingkat sembari bercakap ringan soal kesamaan hobi mereka: fotografi. Kendati begitu, ada dua aspek berbeda yang mereka tekuni. Iris lebih suka mengambil foto ekspresi, candid, ataupun model profesional, bahkan turis-turis yang tidak ia kenal akan ia mintai ijin untuk dipotret. Sementara Jane, ia lebih suka fotografi lanskap apapun objeknya. Ia bisa membidik area penuh gedung tinggi, atau rumah-rumah penuh ukiran yang masih menjamur, atau menggunakan drone, ia juga terbiasa mencari sabana bagus setiap setahun sekali setelah mengumpulkan biaya. Maka dari itu, barang bawaan Jane lebih berat daripada Iris.

Bus yang mereka tumpangi turun di bantaran Sungai Thames, Iris dan Jane sengaja melakukan sesi berburu mereka di tempat itu. Alasannya karena tempat itu paling sering dituju oleh turis. Mata Besar London juga ada di sana, lalu jembatan, dan tentu saja semua itu adalah target buruan mereka hari ini.

"Kita berpencar. Bertemu lagi di halte ini, oke?" perintah Jane.

"Siap!" Iris melalukan hormat dengan meletakkan tangan kanan ke pelipisnya, Jane mengulas senyum.

Iris berjalan-jalan di pinggir Sungai Thames. Kesukaannya memotret ekspresi membuatnya cepat menambahkan target. Ia melihat orang yang berpelukan di birai, bidik. Ia bahkan menemukan sekumpulan burung yang menghampiri seorang kakek tua, bidik.

Tiba-tiba saja telinganya menangkap suara alat musik tiup yang terdengar seperti akordion. Pandangannya ia lempar ke seberang jalan dan menemukan seorang pengamen meniup sebuah alat mirip seruling yang tak pernah ia lihat, suling tersebut kira-kira sepanjang tiga puluh sentimeter, dimainkan dua sekaligus oleh masing-masing tangan.

"Wah!"

Ia segera mengarahkan lensa kameranya ke pria itu, yang dengan khidmat melantunkan melodi dan beberapa orang yang menikmatinya, tombol rana ditekan, gambar diabadikan.

"Foto ini harus layak dipajang di galeri kampus," ujar Iris menikmati hasil bidikannya.

Ia segera menurunkan kamera dan mengubek-ubek tasnya, mencari dompet sambil bergerak maju. Namun, bahunya membentur seseorang dengan lumayan keras.

"Ah! Maafkan aku!" Iris segera menyingkir dan memandang wajah orang yang ditatapnya.

Laki-laki berambut pirang acak-acakan, surai-surainya yang lumayan panjang menutupi salah satu pandangan matanya. Matanya berwarna coklat memandanginya dingin, ia memakai kaos dan celana hitam serta jaket merah. Iris menangkap ada bentukan tato di lehernya.

Orang itu menghembuskan asap rokok elektrik yang ia bawa, Iris membeku di tempat.

"Lain kali hati-hati dong." Begitu saja, ia kembali berjalan.

Ketika Iris sudah berhasil mengambil dompetnya, ia bermaksud memberikan sejumlah uang pada pengamen tadi, tapi kerumunan orang yang ia bidik sudah membubarkan diri.

"Yah." Ia memasukkan dompetnya kembali dan berjalan ke halte. Ia merasa cukup dengan hasil bidikannya.

Sejak di bus tadi sebenarnya Iris sudah memotret beberapa orang di luar jendela. Lalu meminta ijin beberapa orang juga.

Sesampainya di halte ia segera duduk, sambil menunggu Jane ia menghabiskan camilannya. Namun, atensinya segera teralihkan dengan spot hitam di tangannya. Berbentuk seperti luka, tetapi bukan borok dan tidak menyakitkan.

Ia masih ingat ekspresi bibinya tadi pagi yang khawatir, serta pamannya yang berusaha menenangkan. Seumur-umur, Iris tak pernah melihat ekspresi khawatir yang begitu mendalam dari bibi satu-satunya itu.

Ia segera menutup luka itu dengan lengannya, dan saat makanan sudah hampir masuk mulutnya--

"Luka apa itu?"

Jane telah berdiri di sampingnya, bersedekap menunggu jawaban.

"Umm ... penting untuk diceritakan?"

Jane mendesah. "Oh ayolah, Iris. Kita pernah membicarakan ini, jika ada masalah harus diceritakan karena kita saling percaya, bukan begitu?"

Iris mengulum bibirnya. Memandang Sungai Thames dari tempat ia duduk.

"Masalahnya aku ... tidak tahu ini apa dan harus mulai cerita dari mana juga ...."

"Ikut aku!" perintah Jane.

"Eh ... ke mana?"

"Kafe terdekat, setelah sampai, kau harus menceritakan semuanya!" ujar Jane sambil lalu.

Iris tersenyum, ya mungkin tak ada salahnya ia bercerita kepada temannya, setidaknya walau tak mendapat jawaban, ia telah berbagi kebingungan.

"Kamu traktir kan?" Iris beranjak.

"Bayar sendiri, dong!"

"Ya sudah ya Nona Pelit, aku tidak akan bercerita," ancam Iris.

"Ash--oke-oke, aku traktir, yang murah saja, ya?"

Iris mempertemukan telunjuk dan jempolnya sebagai isyarat untuk oke. Mereka pun kembali berjalan beriringan.

London di pagi hari saat menjelang natal terasa hangat hari itu, matahari sedikit menyembul, tetapi tetap saja hawa dingin lebih mendominasi. Seorang lelaki yang membenamkan wajahnya di syal menyeringai.

"Bukankah ini akan menjadi sangat menarik." Ia beranjak dan mendongak menantang langit.

"Jadi, Hestia, bagaimana kali ini takdir akan bergulir?"

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang