Iris meletakkan kalung dengan bandul tiara dan permata di kedua telapak tangannya. Ia memandangi setiap detail kalung itu, mendapati bahwa kalung itu terbuat dari emas, banduk berbentuk tiara puncak tiga yang masing-masingnya masih tergantung lagi oleh bandul permata yang berbentuk seperti tetesan air berwarna biru muda.
Kharites dikenal sebagai dewi personifikasi yang memberikan kasih sayang. Gadis itu menebak, mungkin dari situlah kekuatan penyembuhan dari kalung ini bekerja, ini seperti seorang ibu yang sigap memberikan perawatan pertama setelah anaknya jatuh tersandung atau terpeleset, kemudian sang ibu memberikan penghiburan selagi membersihkan luka anaknya.
Iris mengulas senyum, ia menggenggam kalung itu sebentar lalu memakainya kembali, menggantungkan kalung itu di lehernya seraya ia beranjak dari apartemen sementara miliknya. Saat di dalam Labirin Daedalus, ia tidak bisa membawa kembali pamannya, kali ini ia bertekad untuk bisa membawa paman dan bibinya kembali. Gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama bibi dan pamannya selepas kepeegian kedua orang tuanya, ia menganggap paman dan bibinya sudah seperti orang tua kandungnya sendiri, dan ia tidak mau ditinggalkan lagi oleh orang yang ia kasihi--setidaknya dalam kondisi tidak tahu apa-apa seperti sebelum-sebelum ini.
Setelah kekuatannya bangkit--menurut kesaksian Nyonya Rose yang melihatnya, karena Iris sendiri tidak menyadari kekuatannya telah bangkit--Iris bisa melihat sebagian memori yang tak sempat ia lihat dari dalam Kuil Orakel Delfi. Meski begitu, ia melihat dalam keadaan di mana wajah ibu dan ayahnya pudar, buram, atau kata apapun yang dapat menggambarkan bahwa wajah mereka tidak terlihat dari mata Iris.
Tepat saat Iris menggesek kartunya dan menarik pintu apartemen, sebuah tangan tiba-tiba saja masuk dan bergerak ke sembarang arah.
"Eh!" Iris bergerak sempoyongan ke belakang begitu pula lelaki yang tak sengaja mendorong tubuhnya sendiri karena kehilangan pegangan.
"Aduh!" ujar mereka berdua serempak.
"Maaf!" teriak Leo.
Kepala Iris tepat jatuh di atas karpet ruang duduk, setidaknya tidak membuat kepalanya terbentur terlalu keras ke lantai parket di bawahnya.
"Ti-" Ucapan Iris terpotong karena melihat wajah Leo yang tinggal sejengkal daro wajahnya.
Dan demi apapun, posisi mereka kali ini sungguh tidak enak dilihat. Leo berada di atasnya, lelaki itu menahan tubuhnya sendiri dengan kedua lutut dan telapak tangan yang menapak lantai. Lalu, tubuh Iris berada di bawahnya, tepat terjepit di antara lengan dan kaki Leo dari sisi kiri dan kanan. Serta wajah, perut, dan dada tepat menjepit tubuh Iris dari atas, jika saja Leo tidak sigap menahan tubugnya, maka ... perlahan, baik Iris dan Leo merasakan bahwa wajah dan telinga mereka memanas, Leo segera berdiri begitu tahu bahwa sudah sekitar sepuluh detik mereka ada dalam posisi itu.
"Maaf! Tadi aku ingin mengetok pintumu la-lalu tiba-tiba saja ... aku ... begitu ...." ujar Leo sekali lagi sambil membuang mukanya.
"I-iya, tidak apa-apa." Iris berdiri sambil merapikan rambut dan pakaiannya.
"Kepalamu tidak apa-apa?" Anggukan Iris menjawab pertanyaan Leo yang kini sudah berani menatapnya dengan muka biasa saja.
"Ada apakah?" tanya Iris.
"Nicholas menyuruh tujuh--maksudku,enam--kesatria utama untuk berkumpul di ruang rapat. Katanya ada hal yang harus dibicarakan."
Segera saja mereka bergerak menuju ruang rapat, tanpa sedikit pun mengambil sarapan yang disediakan. Iris cukup sebal mengingat rapat terjadi terlalu pagi, bahkan ia masih sempat sarapan saat sebelum pergi lepas landas ke Yunani. Ya, tetapi, mau tidak mau ia harus memaklumi situasi genting yang terjadi, semoga saja ini ada hubungannya dengan paman dan bibinya juga.
Leo berjalan di depannya, dan tak satupun pembicaraan tergantung di udara di sekitar mereka. Rasanya, Iris juga harus memakluminya karena pagi mereka dimulai dengan sangat canggung dan memalukan. Ugh, Iris kembali merasakan mukanya memanas dan ia memilih menutup sebagian besar wajahnya dengan telapak tangannya.
"Omong-omong," Bahkan, nada Leo yang digunakan membuka percakapan juga sedikit canggung, "aku penasaran, apakah kau sudah bisa mengeluarkan senjata dan sihirmu secara baik ya?"
Ah, pertanyaan Leo benar. "Kemarin, eh maksudku, dua hari lalu, kekuatanku bangkit karena aku sedang merasa tertekan. Itu memang sesuatu yang membahayakan ya jika digunakan dalam situasi genting macam perang yang akan kita hadapi nanti." Iris menarik napasnya sebentar dan kembali melanjutkan. "Namun, jangan terlalu khawatir, selepas perkenalan dengan Nicholas, Altair dan Chelsea mengajariku cara memanggil senjataku. Selebihnya untuk urusan sihir bisa menyesuaikan."
"Lalu, berhasil?"
"Lumayan, meski aku harus benar-benar berkonsentrasi selama dua jam, mungkin jika aku dalam keadaan tertekan bisa lebih cepat, ya?" Iris terkekeh.
"Perkembangan sekecil apapun itu penting. Berhubung nasibmu lumayan ... err, susah? Soalnya kau baru menyadari kekuatanmu saat perang akan dimulai kapan pun, dan kau harus siap."
Iris menyetujui ucapan Leo yang kini berjalan sejajar di sebelahnya, tidak ada jalan bagi Iris untuk kabur atau kembali. Leo menggesek kartu akses menuju ke ruang rapat, pintu kaca satu arah terbuka mengarahkan mereka ke ruang kecil dan pintu kaca bening yang tidak dikunci. Iris dapat melihat semuanya berkumpul di sana, termasuk Nyonya Rose.
"Selamat pagi! Silakan minum kopi atau susu kalian, berhubung Iris dan Leo ada di sini maka segera kumulai saja ya." Iris menyeruput kopinya dengan heran karena tiba-tiba saja Nicholas menjadi pemimpin rapat, Master ECHQ Athena pun tampak baik-baik saja meski wajahnya serius.
"Khususnya untuk pasukan EC London." Nada Nicholas berubah serius. "Harus kuakui EC London adalah cabang EC yang paling ... bodoh. Kenapa? Karena musuh ada di depan mata kalian.
"EC London selalu memberikan sumbangan berupa makanan atau uang ke sebuah yayasan panti asuhan, sebagai staf Hotel Daedalus Grup, bukannya harusnya kau tahu, Nyonya Rose?" Nicholas memicingkan matanya ke Nyonya Rose, dan wanita itu mengangguk tapi ia sekaligus bertanya apa hubungannya dengan yayasan panti asuhan itu.
"Panti asuhan itu adalah cabang, dan bodohnya kalian menerima anak-anak yang sudah dewasa tetapi belum diadopsi untuk bekerja di dalam hotel. Panti Asuhan itu adalah milik keluarga Lucy--pemimpin para Pendosa, yang mewarisi dosa paling besar. Panti itu pada pertama kalinya berdiri di Athena, tetapi setiap EC mendirikan cabangnya, maka panti itu juga akan membangun cabang lainnya, menjalin berbagai kerjasama juga termasuk, sehingga mereka juga otomatis bekerja sebagai penyalur tenaga kerja. Omong-omong, masih ingat soal surat ancaman Icarus?" Nicholas mengedarkan pandangannya, dan semua mengangguk.
"Dan kalian tidak menyadari bahwa surat itu dibuat oleh orang dalam?"
"Maksudmu, ada pengkhianat di dalam EC London?" potong Ares mewakili keterkejutan pasukan EC London, dan Nicholas mengangguk.
"EC London telah disusupi pengkhianat, lalu, pengkhianat itu yang memupuk bibit musuh dalam selimut, bom waktu telah diatur, tinggal menunggu kapan meledak."
Seluruh ruangan hening, cenderung terkejut karena tidak menyangka bahwa markas mereka disusupi musuh.
"Lalu, siapa pengkhianat itu?" tanya Chelsea.
Nicholas menyunggingkan senyum jahilnya sekali lagi. "Kalian sendiri yang harus menemukannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: Iris
FantasyKeping mimpi, bekas luka di tangannya, dan sebuah penyerangan di malam ulang tahunnya yang ke-19. Pemandangan terakhir yang Iris lihat adalah kepergian orang-orang misterius itu dengan membawa serta paman dan bibinya. Setelah terbangun di markas Elp...