9

1.4K 233 25
                                    

Lagi, Iris seperti melihat potongan film lama dengan rona hitam putih, tidak ada suara yang dapat ia dengar selain suara derau layaknya televisi dengan tayangan buram. Di sana ia melihat dirinya berdiri di sebuah tanah bebatuan, lima langkah lagi ia sudah jatuh dari tebing ke laut di bawahnya. Iris mengedarkan padangannya ke sekeliling dan melihat bahwa permukaan air laut telah naik hingga menenggelamkan daratan sekitar. Juga seorang raksasa yang terus mengayunkan borgol rantainya merusak rumah-rumah yang rata-rata hanya setinggi lututnya.

Mulutnya terus meraung-raung, seiring langkahnya yang dapat meruntuhkan jalan dan bangunan di sekitarnya. Sementara gelombang air terus bergerak melalap daratan, menenggelamkan rumah-rumah yang sudah hancur dan orang-orang dengan tubuh remuk.

Gadis itu tidak tahu, ia berada di mana, tapi pemandangan itu membuat perasaan takut merengkuh dirinya dalam-dalam. Kemudian apa yang ia lihat berhenti, berganti dengan garis-garis semut persis rekaman yang telah rusak, beberapa diantaranya bahkan bisa mengganti suara derau menjadi suara decitan yang memekakkan telinganya.

Tahu-tahu ia sudah melihat laut lepas lagi, tapi di arah pukul 10, ia bisa melihat cahaya yang semakin lama semakin membesar. Hingga cahaya itu cukup menyilaukan baginya, suara ledakan membuat apa yang ia lihat buyar.

Iris segera melihat langit-langit kamarnya yang terbuat dari papan-papan kayu berukuran dua puluh sentimeter kali satu meter itu. Ia mendapati tubuhnya berkeringat sangat banyak, jadi ia berinisiatif mengambil sakelar selimut untuk mematikan pemanasnya. Pemanas ruangan yang ada di sudut kamarpun turut ia matikan, setelah itu ia menarik kelambu roman ke bawah supaya kain itu tergulung dengan sendirinya. Di luar belum bersalju, tapi ia dapat menemukan sebagian besar pohon telah kehilangan daunnya.

Kira-kira, mimpi apa itu ya?

Ia beranjak turun dan menyapa paman serta bibinya yang sudah bersiap di meja makan, Iris berjalan lurus menuju pintu kamar mandi dan membilas tubuhnya.

"Ini sarapanmu." Bibinya menyodorkan sepiring telur, kentang tumbuk dan bakon. Tak lupa ia menata saos-saos penambah rasa di tengah meja makan.

Setelah semua duduk di meja makan, semuanya menggerakkan tangan mereka dari kepala, dada kiri, lalu ke kanan dan kembali lagi, kemudian berdoa. Selesai berdoa, mereka ulangi lagi gerakan tangan itu.

"Masih sakit?" tanya bibinya sambil mengiris kentang tumbuk menggunakan garpu.

Iris menatap telapak tangannya sebentar. "Tidak." Ia pun ikut menyuap kentang tumbuk ke mulutnya. Rasa segar, lembut, dan hangat dari kentang tumbuk buatan bibinya menguar di dalam mulut.

Ia pun mengiris daging bakon dan kembali merasakan rasa dagingnya yang menggugah selera serta sensasi juicy yang meledak di mulutnya.

"Apa diagnosa dokter?" tanya pamannya sebelum menyesap secangkir kopi. Lalu mengambil lagi dua daging bakon yang tersaji di tengah meja, sekarang jumlah daging bakon di piring pamannya ada empat. Duh, pantas saja, akhir-akhir ini Iris sering melihat perut pamannya semakin maju ke depan.

"Sementara, mungkin karena ia terbentur sesuatu, maka dari itu obatnya hanya berupa salep." Bibi mewakili pertanyaan suaminya sendiri.

"Tapi aneh, seingatku aku tidak pernah punya riwayat tidur sambil berdiri, jadi aku membentur apa? Dipanku sendiri?" Iris menyuap sepotong telur yang kuningnya sudah meleleh ke piring.

"Bukankah itu mungkin saja?" tanya pamannya dengan mulut penuh.

"Iya sih ...." Iris menyerah dengan pikirannya sendiri, intinya noda atau luka itu kali ini tidak terasa sakit dan, hei, dia punya salep sekarang. Tidak apa-apa, itu akan segera hilang. Setelah ke kampus, dia akan membeli foundation khusus agar menutup noda itu.

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang