18

881 150 6
                                    

Jane tiba-tiba merasakan angin di sekitarnya mendingin, auranya menekan dan entah kenapa membuatnya merinding ketakutan.

"Tapi kalau bisa, cari tahu siapa yang memegang benda itu, dan kita akan menghabisinya." Lemparan Lucy kali ini justru membuat burung itu terbang menjauh. "Cepat cek!" perintah Lucy.

"Baiklah." Jane tergopoh-gopoh kembali ke lift yang terletak di sudut koridor. Gadis bersurai panjang itu berkali-kali menekan tombol segitiga yang ujungnya mengarah ke atas.

Ketika lift berdenting, Jane tidak menunggu seluruh pintu untuk terbuka, ia segera menyelipkan tubuhnya masuk dan telunjuknya menekan tombol bertuliskan B1 untuk kembali ke ruang bawah tanah 1, tempat di mana Bibinya Iris masih terkulai lemas dan terikat di kursi.

Lift menutup dan mulai berjalan santai ke bawah, menuju tempat tujuan Jane. Aura Lucy memang sangat mengintimidasi dan menakutkan, siapapun yang akan mendengar perintahnya, rasanya seperti ditekan untuk segera mematuhinya, melaksakanan perintahnya dengan cepat dan telaten serta harus berhasil. Karena jika gagal, aura itu seakan mengatakan bahwa Lucy sendiri yang akan menjadi algojo untuk memenggal kepalanya.

Denting lift kembali terdengar, lagi-lagi, tak perlu menunggu kedua daun pintu lift terbuka, gadis itu menyelipkan tubuhnya yang untungnya ramping untuk keluar dan berjalan cepat menuju sel Stephenie--Bibinya Iris.

Namun, sebelumnya, ia mengarahkan tangannya ke tembok di sisi kiri dan memusatkan konsentrasi, lingkaran sihirnya yang berwarna ungu tercetak di sana. Lalu ruangan tiba-tiba berubah menjadi air-air yang beriak mirip udara di gurun atau udara di atas api unggun. Riak air itu hilang bersamaan dengan berubahnya letak-letak ruangan di sana.

Lantai B1 dan B2 yang terisolir dari dari dunia di luar, di salah satu dinding telah dipasang sensor sihir yang bisa mendeteksi. Jika tidak ada keberadaan Tujuh Pendosa di ruangan itu, maka sihir ilusi akan segera aktif secara otomatis, mengubah ruangan-ruangan yang ada menjadi semacam labirin sehingga selain Tujuh yang Utama, tidak akan pernah menemukan sel itu serta tidak pernah kembali.

Kelotak alas kaki Jane sudah menggema di koridor gelap itu, lalu ia mengaktifkan sihirnya di depan pintu sel, menahannya selama beberapa detik dan memutar kenop hingga pintu terdorong.

Cepat-cepat Jane menegakkan kepala Stephenie, lalu melepas tiga kancing pertamanya dan ... kalung itu tidak ada di sana.

*

Seorang perawat sibuk menempel plester luka pada pergelangan Iris yang baru saja dilepas infusnya, lalu mengganti perban dengan kapas yang juga diperkuat dengan plester luka. Chelsea menunggu di sofa sambil memainkan ponselnya, sementara Nyonya Rose sibuk mengatasi administrasi.

Iris diperbolehkan meninggalkan rumah sakit hari ini, sekalian melatih otot kakinya agar tidak pincang lagi karena seharian sempat tidak bangun dari kasur.

"Luka di kepalamu sebenarnya sedikit lagi akan sembuh, regenerasi yang cukup cepat. Aku yakin kau juga memiliki sihir." Perawat itu menggangung selang infus ke atas, mematikan salurannya dengan bantuan tombol hijau yang terdapat roda di tengahnya. "Semua hanya masalah waktu saja." Lalu ia mendorong tiang itu ke sudut kamar.

Sarapan di meja dorong juga sudah dibersihkan--lebih tepatnya, dikumpulkan di satu tempat di meja itu untuk nanti diangkut oleh perawat lainnya.

"Pastikan barang kalian tidak ada yang tertinggal di laci-laci meja ataupun kulkas, oke?" Perawat itu mengingatkan Iris dan Chelsea.

"Tidak ada, semuanya sudah bersih!" ujar Chelsea sambil tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu," perawat itu berbalik ke Iris, "aku ucapkan selamat padamu, Iris, selamat sudah sembuh!" Perawat itu bertepuk tangan, lalu mengambil kantong mika di kasur, ia menarik kertas identitas itu dan melipatnya.

"Terima kasih," ujar Iris sambil memasang senyumnya.

Perawat itu lalu meninggalkan ruangan sambil berkata bahwa ruangan akan dibersihkan lagi oleh perawat lain setelah mereka meninggalkan ruangan.

Iris beranjak dari brangkar, lalu duduk di sebelah Chelsea di sofa panjang yang menghadap kasur kosong dengan seprai sedikit kusut. Ia memandang ke jendela besar di sisi lain ruangan. London mendung lagi, apakah salju akan turun lagi? Iris berharap iya, diam-diam, ia mulai merindukan salju dan perasaan hangat yang seakan memeluknya. Padahal, ia pernah merasakan itu, tapi entah kenapa, ia hanya bisa melihatnya di sisi-sisi.ingatannya yang ditumbuhi akar berduri yang mengerikan.

"Sesampainya kau di markas kami nanti, kau akan di antarkan menuju apartemen--tak usah permasalahkan biaya sewanya, meski kau bukan penyihir atau tujuh kesatria utama sepertiku, karena kau yang akan menjadi kunci kami untuk menyelamatkan Stephenie, jadi Master memutuskan untuk menggratiskannya." Chelsea membuka pembicaraan.

"Ah! Terima kasih, tapi ... siapa Master?" tanya Iris.

"Pimpinan kami." Iris ber-oh ria dengan jawaban Chelsea.

"Sebelumnya, kami akan mengajakmu berkeliling sebentar sambil mendongeng lagi." Chelsea terkekeh, Iris mengangguk sambil memasang senyumnya.

Kenop pintu diputar dan Nyonya Rose masuk, Chelsea dan Iris segera berdiri dan mengikutinya ke luar ruangan. Salju turun ringan saat mobil yang mereka tumpangi dan dikemudikan oleh Leo mulai membelah jalanan London.

Gurauan dan percakapan ringan menggantung di dalam mobil, mencairkan dinginnya musim dingin di London. Fasilitas kesehatan sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen dan hotel yang dimiliki oleh Elpis Commander. Hanya tiga puluh menit perjalanan, dan mereka sampai di sebuah hotel dengan variasi dinding-dinding dan lantai balkon bercat putih yang berbentuk kotak-kotak serta dinding-dinding kaca satu arah.

Di depan lobi dan pintu masuk, terdapat atap kanopi super lebar menaungi jalanan di bawahnya yang cukup untuk dilewati dua mobil secara bersamaan. Atap kanopi itu hanya disangga menggunakan kabel baja yang dipatri sejauh tiga lantai ke atas. Membatasi jalanan di depan lobi dan taman yang berbatasan dengan jalan raya, dinding setinggi dua meter bertuliskan Daedalus Hotel and Apartment disinari lampu sorot dari bawah.

Tinggi tempat itu sekitar empat puluh lima lantai dengan masing-masing lantainya menampung dua puluh kamar. Hanya beberapa tempat yang jika dilihat dari fasad bangunannya seperti dipotong untuk meletakkan beberapa taman yang tersebar di lantai, area makan, serta satu kolam renang yang berada di lantai 10 yang hanya dibatasi dinding kaca membuat kolam renang di sana seakan tak memiliki batas dan segera berbaur dengan lanskap kota London yang padat. Mulai lantai empat puluh, jumlah kamar mulai berkurang satu persatu, di sisi kanan dan kirinya ditanami pohon-pohon palem.

Lantai paling atas hanya dipasang dinding kaca dengan pot yang menjulur keluar selebar satu meter di atasnya. Tanaman rambat yang menjulur panjang menutupi seperempat ketinggian dari dinding kaca. Di atas lantai empat puluh lima terdapat bentukan atap ukir yang ... Iris bisa mengatakannya bahwa bentuknya terlalu akrobatis. Di sana ia bisa melihat meja dan kursi yang masih tertata rapi, serta pot-pot tanaman. Iris menduga lantai empat puluh lima dan lantai atasnya yang dipasang atap "akrobat" itu adalah fasilitas makan mewah dengan fitur roof top.

Mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam ruang parkir bawah tanah setelah melewati palang pintu keamanan. Iris menghela napasnya, mengucapkan selamat pada dirinya sendiri.

Selamat telah kembali kehidupan, dan selamat jalan pada kehidupannya yang normal.

PANDORA: IrisWhere stories live. Discover now