Perkataan Nicholas sedikit terdengar aneh di telinganya. Iris bukanlah seorang gadis pendendam, ia akan membalas perilaku seseorang jika itu diperlukan, tapi ia cenderung tidak melakukannya. Nakal Iris hanya sebatas jail, membolos, tidak menggarap pekerjaan rumah, berbohong (sering jika diperlukan tapi cenderung banyak diperlukan apalagi menyangkut nilai mata pelajaran).
Namun, pamannya kini telah tiada dan dia tidak tahu apa-apa pada saat pamannya diculik, bahkan anugerah yang tercetak di punggung tangannya juga tidak ia ketahui. Siapapun mereka yang menculik paman dan bibinya, serta membuat pamannya menjadi monster seperti ini tidak patut untuk dimaafkan, karena mereka lah, Nyonya Rose rela menghabiskan umurnya untuk menggunakan sihir di tengah padamnya tekhne kedua, karena mereka lah banyak orang dirundung kesedihan yang mendalam.
Altair yang terlihat kehilangan sosok Iason, Leo yang murung karena ibunya tak kunjung sadar, dan dia yang kehilangan sosok orang tua dari ia kecil bahkan kini paman dan bibinya. Nicholas benar, siapa pun dan berapa pun para pendosa, tindakan mereka tidak dapat dimaafkan, Iris meremas jari jemarinya seiring tekadnya yang membulat untuk membalas mereka dan merebut apa yang telah mereka ambil dari dirinya.
Namun, gadis itu ingin memutuskan satu hal sebelum perang benar-benar dimulai, ia ingin mengunjungi Leo di kamar inap Nyonya Rose. Iris mulai melangkah dari tempatnya berdiri di depan foto pamannya, sepasang kakinya berderap membawa tubuhnya menuju ke pintu kaca buram. Tepat ketika tangannya menarik kenop pintu yang terbuat dari logam mengarah ke tubuhnya, tangan seorang pria lagi-lagi terulur ke dalam, kakinya menyilang dan tak ayal tubuhnya ambruk menuju Iris.
Gadis itu tampak familiar dengan kejadian kali ini, setelah memekik, ia membuka matanya dan mata mereka berdua bersitatap.
"Leo," panggil Iris.
"U-um ... e ... hai?"
"Hai, a-apa kau sudah merasa baikan?" Iris ikut gugup.
"Ya." Leo menjawab singkat dan canggung.
"A-aku minta maaf!" Mereka berdua serempak berteriak.
Bingung karena mereka berdua sama-sama ingin berbicara, selama beberapa jenak mereka hanya saling bertukar tatap. Iris memutuskan membuka mulutnya, tetapi belum sempat ia berbicara, Leo segera memotongnya.
"Aku duluan! A-aku minta maaf. Karena Ibuku, pamanmu ... Ibuku telah membunuh seseorang yang sangat berarti bagimu."
Iris menggeleng membalas pernyataan maaf Leo.
"Aku tidak menerima permintaan maafmu, " ujar Iris tegas, "karena kau tidak salah, ibumu pun."
Mata Iris mulai berlinang. "Justru yang pantas meminta maaf di sini adalah aku, ibumu bukan membunuh pamanku, tapi beliau membunuh wujud monster yang menggunakan wujud pamanku." Dari sini,air matanya mulai lolos. "Sedangkan aku? Aku yang harusnya membunuhnya, tapi gadis tidak berguna ini justru malah membuat seseorang yang berarti bagimu sekarang berada di kondisi kritis. Kenapa kau tidak menangis? Kenapa kau tidak membentakku dan menjauhiku saja? Kena--"
Masih dengan posisi Leo yang telungkup memerangkap tubuh Iris di bawah tubuhnya, di antara kedua lutut yang menahan tubuh Leo tidak langsung menimpa tubuh Iris, kedua lengan Leo tertekuk, membuat tubuh bagian atasnya turun. Yang lebih penting adalah, bagaimana Iris bisa merasakan rasa empuk dan lembut di bibirnya, dan itu adalah bibir lelaki yang ada di atasnya, mata Iris melotot, tangisnya seketika sirna dan seluruh kata-katanya dibungkam oleh bibir tipis lelaki itu.
Beberapa detik kemudian, Leo menaikkan tubuhnya dan membuang mukanya yang merah ke arah lain, tangannya menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal.
"Untuk yang satu itu aku minta maaf," ujar Leo.
Iris juga menegakkan tubuhnya, menyentuh bibirnya yang kali ini terasa kosong, sesuatu di dalam perutnya berhenti menggelitik, dan ruang kecil di dalam hatinya merasa kecewa tidak lagi merasakan rasa lembut itu.
"Aku tidak menangis karena Ibuku," Leo kembali berujar, "Ia mengatakan padaku bahwa seorang lelaki hanya layak menangis saat ia pertama kali dilahirkan dan saat kehilangan orang-orang yang paling ia kasihi, selebihnya, seorang lelaki harus tegar dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidupnya. Melihat ibuku tersenyum dan berusaha menegarkan dirinya dengan menyibukkan diri di dalam kafe pasca kematian ayahku, membuatku ikut perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan. Sejak saat itu aku berjanji akan memegang ucapannya, dan kali ini, aku belum kehilangan Ibuku, ia masih hidup meski tubuhnya terbaring di sana. Intinya, kau tidak salah juga." Leo tersenyum ke arah Iris, menunjukkan kedua lesung pipit yang membuatnya wajahnya semakin ramah.
"Leo, apa aku bisa meminta sesuatu?" Leo memiringkan kepalanya mendengarkan pertanyaan Iris.
"Ya, tentu saja."
"Bantu, aku menjadi lebih kuat, giliranku yang akan menyelamatkan bibiku sendiri." Iris menatap menembus iris mata Leo yang sewarna dan sekuat tanah.
"Tentu saja, Kadet!" jawab Leo sambil mengembangkan senyumnya dari satu telinga ke telinga lain.
"Terima kasih." Iris balas tersenyum manis yang membuat Leo cukup terpana, sebelum ia kembali mengontrol air mukanya.
"Ayo ikut aku!" Leo berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Ke?"
"Komandan Ares, ayo kita minta jadwal latihan dan dia pasti setuju."
Iris segera menyambar uluran tangan Leo, bersama dan bergandengan tangan mereka berlari menyusuri koridor dengan tekad dan semangat untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih kuat.
Nicholas sempat heran saat melihat tiba-tiba saja Leo dan Iris berlari melewatinya sesaat setelah membuka pintu rawat inap Nyonya Rose. Sebenarnya bukan hanya Nicholas yang kaget, melainkan seorang pasukan yang juga diutus menjaga ruang rawat inap juga memandang heran.
"Menurutmu, mereka kenapa?" Si pasukan hanya menggeleng karena mereka sama sekali tidak tahu.
"Sepertinya terlihat mengasyikkan, aku ikuti ah--eh, tapi, jangan sampau mengendurkan penjagaanmu di ruangan ini, oke? Bisa saja nanti ada serangan mendadak," perintah Nicholas sebelum ikut berlari.
"Eh--Siap!" Pasukan itu memasang tangannya di pelipis kanan--memasang sikap hormat.
"Selamat berjaga!" Nicholas lalu memasang posisi siap berlari dan melontarkan tubuhnya sebelum mengayunkan kaki menyusul Leo dan Iris. "Hoi! Tunggu aku!"
Kini si pasukan benar-benar dibuat heran dengan pasukan utama Elpis Commander.
Leo dan Iris menghindari lift maupun tangga darurat, mereka terus berlari sembari memberi isyarat pada orang-orang untuk memberi jalan pada tangga utama di dalam gedung, bertindak seperti ambulans dengan kondisi yang bersifat mendesak. Nicholas bisa dikatakan lebih gila, seolah keadaan kurang cukup riuh dengan kelakuan Leo dan Iris yang berlari-lari di sepanjang koridor, Nicholas terus berteriak pada Leo dan Iris untuk menunggunya. Sesekali ia bergurau bahwa "fisik dewa sudah terlalu tua--tidak, bahkan renta untuk berlari!" padahal Nicholas sama halnya seperti tujuh kesatria utama EC, seorang manusia biasa yang kebetulan terpilih untuk membawa anugerah turun temurun dari para Dewa Olympus.
Mereka bertiga terus berlarian (membuat gaduh juga dihitung) hingga sampai di gimnasium indoor. Pintu menjeblak terbuka--terlalu keras sebenarnya--dan membuat Ares serta Altair dan sebagian besar pasukan lain yang akan memulai latihannua mengalihkan atensi mereka ke pintu masuk.
"Ehm." Leo berdeham. "Ares, Altair, aku ingin kita bicara sebentar."
Ares mengangguk. "Yang lain, silakan lanjutkan latihannya!" perintah Ares diikuti gaungan 'siap' yang memenuhi ruangan dengan langit-langit trapesium itu.
"Lalu, dia" tunjuk Altair pada Nicholas.
"Aku yang mengusulkan idenya ke mereka, jadi aku harus menemani mereka," jawab Nicholas dengan santai diikuti lirikan bingung dari Leo dan Iris.
"Cepatlah, tidak ada basa-basi di ruangan ini." Ares membuat semuanya berkumpul, Nicholas pun ikut dan Altair menutup pintu gimnasium.

KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: Iris
FantasyKeping mimpi, bekas luka di tangannya, dan sebuah penyerangan di malam ulang tahunnya yang ke-19. Pemandangan terakhir yang Iris lihat adalah kepergian orang-orang misterius itu dengan membawa serta paman dan bibinya. Setelah terbangun di markas Elp...