5

2.8K 343 94
                                    

Merasa dilindungi, ia segera menjauh secara diam-diam dari medan pertempuran dan masuk lebih dalam lagi. Tujuannya hanyalah satu: Parthenon. Tentu saja, selama langkah kakinya menuju tempat itu, ia menyenandungkan sebuah melodi dengan volume lirih. Seorang pria pembawa tombak menyadarinya, ia melirik dan sedikit mengangguk seolah mengatakan terimakasih.

Tak perlu, memang sudah tugasku.

Seorang perempuan mengekor dibelakangnya, ia merapal mantra mantra untuk membuat perlindungan dengan radius enam puluh sentimeter melingkupi mereka. Selesai ia menyenandungkan musiknya yang memiliki fungsi sihir, ia mengajak wanita itu berbicara.

"Alpha, kau tahu kenapa Tekhne disembunyikan di Akropolis?" Tidak ada jawaban, meski begitu, pemain seruling itu tahu bahwa wanita itu masih ada di belakangnya.

"Akropolis memiliki banyak cerita. Salah satunya adalah Daedalus--" ucapannya terpotong, nada suaranya berubah serius selama satu detik. "Arah pukul dua."

Si wanita di belakangnya segera mengerahkan tangannya sembilan puluh derajat ke kanan, mencetak lingkaran sihir untuk menghalau serangan kerumunan hewan liar yang tiba-tiba saja memasuki area reruntuhan Akropolis.

Serangan panah yang berasal dari arah pukul empat cukup membantunya. Ia segera meneruskan jalannya kembali bersama pria seruling itu tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Daedalus adalah orang yang tersiksa atas dosanya yang tertinggal di Akropolis. Karena di sinilah, Ia telah membunuh keponakannya sendiri," ujarnya melanjutkan cerita sebelum memainkan melodi seruling lagi.

Kali ini melodi itu dimainkan sedikit keras, dan jangkauan sihirnya segera memenuhi Akropolis--memperkuat pasukan bertudung ungu gelap. Wanita itu segera berwaspada lagi.

Atas.

Ia segera menahan serangan magis tepat di atas kepala mereka, menyebabkan dua lingkaran sihir saling bertabrakan, saling menekan dan menahan. Pria seruling itu memainkan satu nada untuk membantunya, dengan begitu, lingkaran sihir yang menekan mereka segera amblas--pecah berkeping-keping.

Sedikit lagi mereka mencapai Parthenon, dan sebagian besar serangan pedang segera diarahkan ke mereka. Pria itu bersuling lagi dengan hanya satu nada dan membuat gendang telinga mereka pecah, cukup untuk membuat perhatian mereka teralihkan memegangi telinga mereka yang berdenging dan terus mengalirkan darah.

Wanita itu tetap menghalau serangan binatang buas yang terus melompat ke mereka, membuat dinding magis berukuran tiga kali tiga meter dengan tinggi yang sama cukup untuk membuang binatang-binatang itu. Halangan selanjutnya justru berasal dari atas, kekuatan sihir seseorang yang terus menekan mereka. Sihir yang menekan mereka itu harus segera dimusnahkan dengan sihir kombinasi antara wanita itu dan irama melodi dari seruling yang dimainkan.

Setelah itu, halangan seolah hilang, mereka tetap berjalan hingga lima belas meter ke depan. Pria seruling itu mengangkat tangannya, menghadang wanita itu dan membuat mereka berhenti. Di bawah mereka, tanah-tanah merekah dan sulur-sulur hitam mencuat keluar. Pria seruling dan ajudan wanita di belakangnya segera melompat, ajudan itu meraih pistol di pinggangnya dan menembakkan peluru-peluru yang sudah diisi oleh sihir ke sulur-sulur itu.

Menyusul sulur itu yang tiba-tiba mencuat, tangan-tangan dengan luka nanah dan kulit mengelupas beranjak keluar dari dalam tanah. Mayat-mayat berjalan mulai menuruni Akropolis, menyerang kawanan tudung ungu dengan membabi buta, mendorong mereka ke tanah dan mencabik-cabik kulit mereka seperti zombie.

"Tuan ...." Baru sekarang ajudan wanita itu berbicara.

"Aku tahu," balasnya, mengangkat kedua serulingnya ke mulut dan segera menyanyikan melodi.

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang