Chapter 32

5.7K 680 12
                                    

POV Raisya : Rasa Salah Terbesar


Aku terkejut begitu terbangun dengan situasi beberapa pria paruh baya berada di sekitar kami. Aku menyipitkan kedua mataku karena silaunya lampu senter. Sekarang aku mengerti. Mereka adalah beberapa orang yang sedang melakukan pos ronda. Aku menatap Raihan yang awalnya membela diri. Lalu tiba-tiba raut wajahnya berubah tenang.

"Kami tidak berbuat apapun. Percayalah." sela Raihan.

"Alaaaahh gak usah bohong dek!" suara bapak-bapak berperut buncit itu menatap Raihan dengan tidak suka. "Tadi kami melihatmu dengan jelas mau mencium gadis ini kan?"

Aku terlonjak kaget. "APA? MENCIUM AKU?"

"Iya dek. Dia ini siapa? Pacar kamu? Orang lain atau-"

"Saya suaminya." DEG.

Aku terdiam. Syok. Terkejut. Dan tidak menyangka. Apa katanya su-suami? Aku menatap Raihan dengan tajam. Tapi dia mengabaikan ku. "Ban motor kami kempes. Saat ini bengkel sudah tutup."

Bapak-bapak itu terlihat kasak-kusuk. Selang 15 menit kemudian sebuah mobil berhenti tepat didepan kami. Beberapa petugas berpakaian satpol PP pun hadir. Aku semakin gelisah. Aku menatap Raihan lagi. Dia tetap tenang. Tanpa ekspresi seolah-olah menggampangkan semua ini.

"Selamat malam Pak." ucap salah atau anggota pos ronda itu kepada petugas Satpol PP.

"Malam. Ada apa ini rame-rame pak?"

"Ini loh. Kami menemukan sepasang muda-mudi melakukan hal yang tidak-tidak didaerah sepi begini."

"Iya pak. Bener! Untung aja kami segera mencyduknya dengan cepat. Kalau tidak anak dua ini bisa berbuat yang aneh-aneh!"

"Aduh-aduh! Anak jaman sekarang kok gak ada baik-baiknya ya?!" Lalu tanpa diduga aku melihat salah satu anggota pos ronda itu menarik lengan Raihan dan melihat logo asal sekolah kami.

"Ya ampun! Kalian ini anak sekolah dari Madrasah Aliyah Darrul Ilmi ya?" ucap bapak berperut buncit itu dengan menggelengkan kepalanya.

Aku mencoba membela. "Pak. Tolong percaya kami. Niat kami kesini cuma berteduh. Itu aja. Serius."

"Kalau begitu boleh saya lihat KTP kalian?" sela petugas Satpol PP. Aku terdiam. Ya Allah. KTP saja belum selesai di urus di tempat Pak RT. Bahkan saat ini Raihan pun tidak berkutik.

"Nah kan! Kalian gak bisa jawab." sambung salah satu anggota pos ronda barusan. "Berarti kalian ini belum menikah! Kalau begitu amankan saja bocah-bocah ini pak!"

"Ini nih yang bikin meresahkan warga! Bagaimana bisa mencerminkan menjadi anak yang baik untuk nusa dan bangsa?!"

"Ayo ikut kami." Raihan tetap tenang. Dia terlihat enggan ketika lengannya hendak di giring ke mobil satpol PP. Tidak denganku yang panik saat ini sekaligus malu.

"Pak!"

"Ya Allah Pak! Kami tidak salah. Kalau mau tangkap silahkan tangkap dia aja pak! Jangan saya!"

"Demi Allah Pak. Saya tidak-"

"Kamu bisa jelasin semuanya di kantor dek. Silahkan hubungin orang tua kalian." Rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Aku sendiri tidak habis pikir kenapa Raihan tetap tenang? Astaga! Cowok itu benar-benar aneh. Tadi mengataiku gadis cantik! Sekarang ngakunya suami! Lalu kedua mataku mulai memanas. Aku harap kejadian ini tidak sampai terdengar oleh siapapun apalagi satu sekolah.

❣️❣️❣️❣️

Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Mama tidak bisa datang. Tapi mama sudah tahu kejadian yang aku alami saat ini. Sekarang ada Tante Aiza dan Om Arvino yang terlihat tegang mendengarkan penjelasan Raihan. Dihadapan mereka ada dua petugas Satpol PP yang mendengarkan penjelasan Raihan dengan seksama.

Seperti yang aku bilang tadi. Raihan tetap tenang. Tidak cemas apalagi panik sepertiku. Aku menggigit ujung kukuku. Lalu memperhatikan disekelilingku banyaknya anak jalanan. Pengamen. Dan beberapa pengemis yang sepertinya malam ini petugas satpol PP sedang melakukan rajia.

Aku melihat Tante Aiza dan Om Arvino beranjak dari kursinya. Lalu mereka saling berjabat tangan dengan petugas Satpol PP dengan Raihan yang mencium punggung tangan petugas tersebut dengan sopan. Apakah semua urusan sudah selesai? Itu yang aku pikirkan saat ini. Lalu semua itu benar. Aku melihat Raihan melenggang pergi duluan keluar ruangan diikuti dengan Om Arvino yang raut wajahnya sedang marah.  Kemudian Tante Aiza mendatangiku. Seketika aku cemas.

"Raisya."

"I-iya Tante."

"Kamu tidak apa-apa?" Aku menggeleng lemah. Kedua mataku memanas. Aku berusaha menahan diri agar tidak menangis. Tapi sayangnya gagal. Air mata meluruh di pipiku. Saat ini perasaanku campur aduk tidak menentu. Raihan benar. Aku memang benar-benar pembawa masalah

"Jangan menangis."

"A-aku.. Tante. Aku-" Tante Aiza memelukku dengan erat. Aku menumpahkan rasa sedih dan kesalahanku pada mereka kesekian kalinya.

"Maafin aku Tante Aiza. Maafin aku."

"Tante ngerti. Ayo kita pulang. Sudah larut malam." Aku mengangguk lemah. Aku hanya menurut ketika tante Aiza membawaku keluar ruangan sampai akhirnya aku melihat Raihan sedang menundukkan wajahnya. Didepan dia ada Om Arvino yang sedang berkacak pinggang. Seketika rasa tidak enak semakin menghampiri ku hingga tatapan Om Arvino berlalih menatapku begitu kami sudah dekat. Aku memilih menundukan wajahku. Aku merasa takut dan tidak enak.

"Jangan takut." bisik Tante Aiza lagi.

"Aku sudah membuat semuanya kacau Tante Aiza."

"Jangan berkata seperti itu. Istighfar lah agar hatimu tenang nak." Aku hanya menurut setelah kami memasuki mobil keluarga Raihan. Lalu aku menatap Raihan yang datar dan sudah siap untuk mengemudikan mobilnya. Dia sudah menanggalkan pakaian seragamnya. Aku baru tahu kalau dia memakai sebuah kalung yang mirip seperti preman. Tapi rasa bersalahku semakin besar. Dia terlihat lelah dan semua itu gara-gara aku.

 "Maafin aku Raihan."  ucapku dalam hati.

❣️❣️❣️❣️

"Bismillahirrahmanirrahim saya nikahkan engkau Muhammad Raihan Azka bin Arvino Azka dengan ananda Raisya Nur Adila Cahyani binti Muhammad Devian dengan mas kawin tersebut dibayar Tunai."

"Saya terima nikahnya Raisya Nur Adila Cahyani binti Muhammad Devian dengan mas kawin tersebut dibayar Tunai."

"Bagaimana saksi?"

"SAH!"

"SAH!"

"SAH!"

"Alhamdulillah." Aku mendengar suara tamu-tamu yang mengucapkan kata Alhamdulilah setelah Raihan mengucapkan ijab qobul dengan lancar. Aku menatap diriku didepan cermin rias. Tidak ada yang istimewa dari ini semua. Saat dimana pasangan sempurna menikah atas dasar cinta. Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi antara aku dan Raihan.

Sudah dua Minggu berlalu saat kejadian aku dan Raihan di giring ke kantor satpol PP. Sepulang Papa dari Swiss saat itu benar-benar membuatku tidak menyangka bahwa Papa mengusirku. Papa malu memiliki anak gadis sepertiku. Katanya aku hidup sebagai pembawa masalah. Hidup sebagai seorang gadis yang banyak menjadi sumber fitnah.

Pintu terbuka. Aku melihat Raihan berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya datar. Begitupun denganku yang sebenarnya terpaksa melakukan pernikahan ini jika saja saat itu mama tidak menangis mencegah kepergian ku dari rumah akibat usiran Papa. Papa memang begitu. Kalau sudah marah mengerikan. Papa benar. Aku memang pembawa sial dan biang masalah di keluargaku. Raihan mendekat kerahku. Dengan ragu aku berdiri hingga akhirnya kami saling berhadapan dalam diam. Tanpa ragu dia mengulurkan telapak tangannya. Dengan gemetar kecil aku menggenggam balik telapak tangannya yang dingin. Ini pertama kalinya sejak dari kecil kami bersentuhan secara fisik. Aku menundukan wajahku karena rasa bersalah ini nyaris sulit untuk di hilangkan.

"Kamu tahu hal terbenci dalam hidupku saat ini?" Raihan berbisik di telingaku dengan nada suaranya yang dingin. Tajam dan amarahnya yang dia tahan sejak tadi sebelum kami benar-benar keluar ruangan untuk prosesi pemasangan cincin nikah. "Sebuah penyesalah hidup bersama dengan gadis pembawa sial sepertimu." Aku terkejut. Aku masih menundukan wajahku. Tidak berani menatapnya hingga setitik air mataku menetes di punggung tangannya. Sakit.


❣️❣️❣️❣️

Raihan & RaisyaWhere stories live. Discover now