Chapter 25

3.6K 438 10
                                    


POV Raihan : Ada apa dengan Raisya?


Ada Apa Dengan Raisya?

"Raihan!"

"Apa?"

"Bisa bicara sebentar?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Waktuku sangat berharga setiap detiknya untuk hal yang tidak penting." Aku meninggalkan Raisya. Saat ini kami baru saja usai melakukan kegiatan upacara. Aku mempercepat langkahku. Hingga akhirnya dia berdiri menghadang jalanku.

"Raihan! Dengarkan aku dulu. Plishh."

Aku memutar bola mata dengan jengah. Lalu bersedekap. "1 menit."

"Baiklah jika 1 menit. Tidak apa-apa."

"Aku tidak memiliki waktu."

"Aku.."

"Aku.." Aku menghela napas gusar. Waktu terus berjalan setiap detiknya. Tapi dengan bodohnya dia memperlambat situasi. Tiba-tiba Raisya tersenyum manis ke arahku. Aku tertegun. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya yang tipis dan ranum selama 5 detik lalu aku segera mengalihkan pandanganku ke lain.

"1 menit ini akan aku gunakan denganmu Rai."

"Aku suka sama kamu." Apa katanya? Suka? Apakah dia mulai gila? Atau aku yang butuh air minum?

"Jika sebelumnya setiap detik yang kamu gunakan untukku sangat tidak berharga dan hanya membuat waktu berhargamu sia-sia maka izinkanlah aku menjadi hal yang paling penting dan berharga dalam hidupmu."

Aku terkejut dengan ucapan Raisya barusan. Hal yang benar-benar diluar dugaanku.

"Aku.. aku suka sama kamu Rai.. maafkan aku karena selama ini sudah bersikap menyebalkan untuk-"

Aku menggelengkan kepalaku. Hari ini aku sengaja memilih bangun lebih pagi. Bangun pagi adalah hal yang paling langka dalam hidupku. Jika sebelumnya aku paling susah bangun pagi, maka sekarang bangun pagi adalah hal termudah yang aku lakukan. Semua itu karena Si Nyai Rombeng Raisya. Aku sengaja. Karena aku ingin menghindarinya hanya sebuah alasan konyol dan terbodoh dalam hidupku. 

Semalam aku tidur. Mimpi tentang Raisya mengungkapkan perasaannya padaku benar-benar diluar dugaan. Tidak hanya itu saja. Bibirnya yang ranum dan tipis itu sungguh menyebalkan karena mengangguku sebagai pria normal. Sepertinya inilah yang dimaksud Papi dan Mami menikah di usia muda. Agar terhindar dari yang di haramkan. Apalagi terbayang anggota tubuh gadis yang bukan mahram.

"Kenapa bro?!" Nua menepuk pundakku. Sepertinya gesture tubuhku tadi sempat ketahuan olehnya. Aku mencoba bersikap biasa dan tenang.

"Tidak apa-apa."

"Apakah sesuatu menganggu pikiranmu?"

"Tidak ada." Nua terkekeh geli. Lalu bersedekap. Sekarang memang jam istrirahat. Dengan santainya dia duduk di atas meja. Sedangkan Anu, dia terlihat sibuk dengan ponsel barunya yang saat ini sedang bermain game.

"Boleh nanya sesuatu gak?"

"Tidak."

"Pelit banget. Yaudah langsung aja intinya. Kamu suka gak sama Lala?"

"Tidak."

"Kalau gitu boleh dong ya minta nomor ponsel Lala?" Nua menyodorkan ponselnya ke arahku. Aku pun memberikan nomor ponsel Lala saat ini juga.

"Untuk apa kamu minta nomor ponsel Lala?" Aku menoleh kearah Anu yang sejak tadi sibuk dengan permainan game di ponselnya.

"Ya untuk komunikasilah. Kenapa?"

"Oh." Setelah itu anu memilih diam. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Tapi tidak dengan Nua yang kini terlihat senang. "Aku suka sama Lala. Aku mau deketin dia. Mumpung gak ada cowok lain yang suka sama dia. Kan gak ada salahnya berjuang toh?"

"Terserah."

"Oke." Nua menepuk bahuku. "Kalau gitu aku kantin dulu. Mau beli gorengan. Kali aja ketemu Lala. Yakin nih kalian gak ikut?"

Tidak." ucapku dengan jengah karena sejak tadi Nua banyak tanya.

"Anu, kamu yakin gak ikut?"

"Aku benci gorengan. Jadi tentu saja aku tidak ikut." sela Anu dengan jutek. Kenapa tidak terlihat begitu? Aneh sekali. Biasanya kemanapun Nua pergi Anu selalu setia mengikutinya.

"Raihan.." Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Lagi-lagi Raisya datang. Aku memilih pergi karena bayangan mimpi semalam benar-benar menghantuiku.

"Jangan pergi. Aku mau ngomong sama kamu."

"Em.. Rai, aku pergi dulu ya. Bye." ucap Nua tiba-tiba.

"Anu.. aku ikut deh." sela Anu kemudian. Nua pun pergi. Tak lama kemudian Anu juga melakukan hal yang sama.  Aku merasa jengah dan masih tidak bisa terima oleh kejadian kemarin yang di akibatkan oleh Raisya.

"Aku minta maaf Rai. Maaf sudah membuatmu kesusahan." Aku memilih diam. Untuk apa memaafkannya? Paling juga dia bakal mengulanginya lagi.

"Raihan tolong jangan diam."

"Aku sadar selama ini sudah bersikap menyebalkan. Aku menyesal. Mama dan Papa dirumah mendiamkan ku sejak kemarin."

"Aku tahu ini hukuman buatku karena suka merepotkan orang lain. Terutama saat menghilangkan motormu. Aku.. aku janji akan mengantar jemput kemanapun kamu mau."

"Tidak perlu. Motor baruku tiba sore ini." Raisya terlihat diam. Aku masih menatap kelain. Terserah kemana asal tidak ke wajahnya. Aku bersedekap masih duduk di bangku. Sedangkan Raisya masih berdiri di hadapanku.

"Begitu ya? Jadi apakah aku dimaafkan?"

"Tidak."

"Tapi Rai-" Aku memilih berdiri. Tiba-tiba suasana menjadi tidak enak karena sejak awal moodku memang hancur. Raisya memang keterlaluan. Dia penyebab Papi menjadi dingin kepadaku meskipun aku tidak di usirnya.

"Asalamualaikum.. Hai Raihaaaann." Aku menoleh ke ambang pintu. Disanalah Lala berdiri dengan raut wajah cerianya sejak tadi. Lalu ia beralih menatap Raisya.

"Raisya ngapain kesini?"

"Ada keperluan." jawab Raisya. "Kamu sendiri ngapain kesini?"

"Mau ketemu Raihan lah. Rai.. ntar malam jadikan? Ayah sama ibuku sudah menunggu Om Arvino dan Mami Aiza loh dirumahku."

"Iya jadi."

"Yaudah aku pergi dulu ya. Cuma mau tanya itu aja sih sama kamu. Ayo sya kita ke kantin." Aku melihat Lala mengamit lengan Raisya. Sedangkan raut wajah Raisya terlihat terkejut karena suatu hal. Ntah itu apa. Tapi apa yang dikatakan Lala tadi benar. Malam ini Papi dan Mami akan kerumahnya. Kebetulan aku juga ikut.

"Lili sudah nunggu di bakso Abang Afnan. Katanya dia mau traktiran tuh. Kamu kita cariin gak ada. Eh ternyata disini. Ayo!"

"I-iya La." Dan Lala melenggang pergi bersama Raisya. Aku menatap punggung keduanya hingga tanpa diduga Raisya kembali menoleh kebelakang lalu kedua matanya kembali bertemu denganku.

Aku melihat kedua matanya berkaca-kaca. Ada apa? Dia kenapa? Apakah hanya karena aku tidak memafkannya dia hampir menangis? Aku yakin saat ini tidak salah lihat. Mataku tidak minus meskipun hobiku duduk didepan komputer bermain game. Aku menghedikan bahu tidak perduli. Anu dan Nua sudah pergi ke kantin. Begitupun Lala dan Raisya. Akhirnya semua sudah tenang. Aku memilih tidur saja dikelas sambil menggabungkan beberapa kursi agar bisa muat dengan ukuran tubuhku.

Rasa lapar benar-benar tidak terasa karena tiba-tiba hawa mengantuk melanda. Masih ada waktu 20 menit untuk memejamkan mata sejenak. Tapi.. Seketika bayangan kedua mata Raisya yang berkaca-kaca tadi tiba-tiba membuatku kembali bangun dan tidak bisa tidur.

"Astaga!." keluhku sambil mengacak rambut

Raihan & RaisyaWhere stories live. Discover now