Chapter 28

7.1K 724 37
                                    

POV Raisya : Arti Sabar Dan Ikhlas Sesungguhnya


Aku berusaha untuk tenang meskipun hatiku sebenarnya sedikit tidak enak. Setelah meminta maaf sama Raihan tadi, aku tidak tahu apakah dia memaafkanku atau tidak. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya penyesalan datangnya belakangan. Ya beginilah rasanya. Berawal dari sikapku yang cerewet. Yang lebay. Yang suka merepotkan orang lain. Yang suka bikin Papa dan Mama ngomel-ngomel kepadaku. Bahkan Yang suka mengejar cinta seorang kakak kelas hingga berkahir dengan kekecewaan.

Tapi, apakah aku salah mengejar cinta kak Bejo? Aku suka sama dia. Aku jatuh cinta sama dia karena kesolehannya. Pantaskah kira-kira tiba-tiba aku bersikap egois dengan sahabatku sendiri agar aku bisa memiliki Kak Bejo seenaknya? Sepertinya tidak. Aku tidak mau hal-hal yang tidak mengenakan hati itu kembali terjadi padaku. Sekarang hidupku begitu menyedihkan. Setelah fitnah yang terjadi diantara aku dan Raihan. Patah hati karena Kak Bejo. Lili yang membuatku cemburu lalu Raihan yang enggan memaafkanku benar-benar membuatku ruweh.

"Sya." Aku menghentikan langkahku. Lili datang menyapa sambil berlarian dari arah halaman sekolah.

"Ya?"

"Raisya. Aku takut."

"Takut apa?" Lili terlihat gugup. Ia menundukan wajahnya sambil mengamit kedua jarinya. Lagi-lagi tanpa sengaja aku menatap cincin itu. Aku tersenyum miris. Berusaha mengabaikan rasa cemburu.

"Semalaman aku gak bisa tidur. Aku takut persahabatan kita hancur gara-gara cowok. Haruskah aku akhiri saja perjodohan ku sama dia?" Aku menatap Lili. Kedua matanya berkaca-kaca. Sorot matanya begitu sedih dan ketakutan.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu Li?"

"Aku.. aku.."

"Jawab yang jujur. Kamu suka sama dia?" Lili masih diam. Terlihat ragu. Aku mencoba bertanya sekali lagi sama dia.

"Jawab Li. Aku ingin kita saling jujur."

Lili mengangguk. "Iya. Aku suka sama kak Bejo. Aku.. aku juga jatuh cinta sama dia sejak dulu. Tapi.. aku kepikiran kamu sya."

"Jangan merasa tidak enak." Aku tersenyum tipis. Sebuah senyuman penuh keikhlasan. "Jika diluar sana ada hal yang terjadi seperti ini. Aku yakin persahabatan tersebut akan hancur. Tapi aku gak mau hal itu terjadi diantara kita. Mengalah bukan dari akhir segalanya kok. Justru mengalah adalah sifat dewasa dari seseorang." Lili memeluk ku dengan erat. Aku tersenyum tipis. Tapi tidak dengan kedua mataku yang berkaca-kaca. Rasa cemburu yang begitu menyakitkan.

"Kamu adalah sahabat terbaik yang Allah kirimkan untuk aku. Makasih Sya. Maafin aku yang tidak jujur sejak awal."

"Sudah-sudah." Aku menepuk pelan punggung Lili. "Ada hikmahnya kok yang aku peroleh dari ini semua."

Kami saling melepaskan pelukan. "Berharap sama manusia itu adalah hal kekecewaan yang sebenarnya. Selama aku suka sama kak Bejo. Aku khilaf karena lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh jatuh cinta berlebihan sama dia mengalahkan rasa cintaku pada Allah. Kita harus ingat bahwa Allah maha Pencemburu."

"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu cemburu; dan cemburunya Allah Ta'ala yaitu, apabila ada seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasa cemburu Allah adalah ketika kita sebagai hamba-Nya melakukan perbuatan-perbuatan yang diharam oleh Allah. Ini membuktikan bahwa betapa Allah sangat mencintai kita sebagai hamba-Nya. Karena, bukankah rasa cemburu akan hadir ketika kita sangat mencintai seseorang?

Aku merangkul bahu Lili. Lalu mengajaknya memasuki kelas.

"Sekali lagi aku minta Ridho dunia akhirat sama kamu ya Sya."

"Iya Li iya. Aku ikhlas kok." Sekali lagi. Aku belajar mengikhlaskan bahwa cinta tidak selamanya saling memiliki.

❣️❣️❣️❣️

"Ooohh jadi ini artis kita sekarang?" Aku menoleh kearah sumber suara. Ck. Aku mendengus kesal. Lagi-lagi Fika. Si kakak kelas yang merupakan salah satu dari sekian banyaknya cewek penyuka si Raihan.

"Maaf ya kak Fika yang baik hati dan sombong! Aku bukan artis. Oke?" Fika tersenyum sinis kearahku. Ia bersedekap diantara kedua sahabat yang berada di kanan kirinya.

"Kasihan banget sih. Nikah enggak. Berzinah iya. Idih. Dasar sampah sekolah ya gini. Mengotori sekolah aja. Iyuhhhhh.."

"Iya bener banget! Jangan-jangan sudah gak perawan lagi?"

"Atau mungkin sekarang sudah hamil beberapa Minggu kali. Hasil zinah di toilet." Sekarang situasi berubah. Kasak kusuk mulai terdengar. Aku menjadi bahan sorotan seluruh siswa dan siswa yang kini sedang jam istirahat.

"Huuuuuuuu."

"Oh iyaa. Pernah dengar pepatah buah gak jatuh jauh dari pohonnya?"

"Kalau anaknya berzinah. Berarti dulu orang tuanya juga berzinah dong ya? Emangnya gak salah gitu kalau anak macam kamu masuk disekolah-"

Cukup sudah. Aku memilih berdiri. Beranjak dari duduk kemudian meninggalkan kantin. Aku berusaha menahan sabar. Sepertinya gagal. Segara fitnah dan olokan Fika benar-benar mempengaruhi perasaanku. Jika saja aku tidak ingat Allah. Jika saja aku menyadari semua kesalahanku dan Jika saja aku tidak ingat Papa dan Mama. Mungkin saat ini juga aku akan membalasnya. Menampar mulut kotornya agar tidak merendahkan aku lagi. Seperti yang aku bilang. Mengalah adalah hal yang terbaik. Abaikan dan menjauh. Itu yang aku pikirkan saat ini.

"Sya! Tunggu!" Aku mengabaikan Lili yang mengejarku. Tapi kalau boleh jujur saat ini aku hendak menangis.

"Sya!"

Aku menghentikan langkahku menatap Lili. "Li, aku ingin sendiri. Tolong jangan ikutin aku."

"Tapi sya-"

"Plishh." pintaku dengan tatapan memohon hingga akhirnya Lili menganggukan kepalanya.

Aku meninggalkan Lili yang diam tanpa bisa berkata apapun. Aku butuh udara segar untuk mengisi hatiku yang sedang gemuruh sesak. Aku memilih ke halaman belakang sekolah.

Sesampainya di sebuah pinggiran danau yang berada dibelakang sekolah. Akhirnya aku tidak bisa membendung rasa sedih yang aku rasakan.

Air mata ku tumpah. Aku menangis. Aku menyesali diriku yang begitu bodoh dan egois. Aku menyesali diriku yang suka menjadi biang masalah hingga berakhir seperti ini. Lalu aku teringat Raihan. Dia tidak akan pernah memaafkanku. Aku tahu. Itu adalah konsekuensi yang harus aku terima.

"Sudah jangan sedih." Aku terkejut. Seseorang tiba-tiba hadir dibelakangku. Aku menghapus air mataku dengan cepat. Lalu aku menoleh dan mendapati Kak Faisal mengulurkan tisu kearahku.

"Aku tahu kok selama ini kamu dan Raihan itu hanya sebuah kesalahpahaman. Jika diluar sana banyak yang menduga benar dan kecewa sama kamu, aku adalah satu-satunya cowok yang tidak berpikir seperti itu sama kamu sya." Apa aku tidak salah dengar? Tumben sekali Faisal bijak?

"Pasti sekarang kamu mikir aku bijak kan? Hahaha." Aku memilih menatap kelain. Aku sangat tidak mood untuk bercanda hari ini.

"Sya."

"Apa?" Faisal tersenyum ke arahku. Tatapannya begitu lembut. Tidak ada raut wajah jenaka seperti sebelumnya.

"Aku harap kamu sabar ya."

"Aku tahu."

"Allah itu sayang sama kamu makanya Allah lagi menguji kesabaranmu melalui cobaan hidup."

"Iya." Aku memilih melenggang pergi. Sebentar lagi jam istrirahat akan berakhir.

"Raisya!"

"Apa lagi sih Kak Faisal? Aku mau masuk kelas-"

"Iya aku tahu." potong Faisal dengan cepat. "Jangan pernah mendengarkan perkataan orang-orang yang mengejekmu. Kamu harus banyak istighfar agar tidak emosi. Kamu harus sabar disaat Allah sedang mengujimu." Lagi-lagi Faisal tersenyum kearahku. Memajukan langkah hingga kami berdiri saling berhadapan.

"Sama seperti diriku yang saat ini di uji oleh Allah. Belajar untuk sabar sampai akhirnya Allah membukakan pintu hatimu agar membalas semua perasaanku padamu. Aku suka sama kamu Raisya."



Raihan & RaisyaWhere stories live. Discover now