Chapter 27

1.3K 160 99
                                    

POV Raihan : Jangan Mudah Percaya


Aku memilih diam. Sibuk memakan sebuah cemilan di piring ukuran kecil. Sebuah cake buatan Lala. Rasanya enak. Dan itu sukses mengembalikan mood burukku ketika Papi dan Mami membawaku kemari.

"Ya Allah. Dunia ini sempit ya. Aku tidak menyangka bila putriku begitu dekat denganmu Aiza."

"Iya kak. Alhamdulillah." Sesekali aku melirik kearah Om Alex. Ayah dari Lala. Kami sedang bersilahturahmi. Begitu Lala bercerita sama Mami bahwa Ayahnya bernama Alex, saat itu juga Mami ngebet kemari bersama Papi. Ya meskipun Papi terlihat tidak semangat. Ntah itu apa. Menurut cerita yang aku dengar Om Alex adalah teman masa kecil Mami waktu di Balikpapan. Om Alex juga seorang atasan dari instansi pemerintahan di kota Samarinda ini. Katanya dulu Mami pernah magang kuliah di kantornya. Bahkan Om Alex pun pernah suka sama Mami dan berniat melamarnya. Ah. Ternyata tidak jodoh. Itu yang aku pikirkan.

"Semenjak kenal Raihan, putriku jadi rajin masak loh Za." ucap Ibu nya Lala dengan bersyukur. "Katanya hobi dia sekarang masak. Apalagi sekarang Lala mengurangi waktu bermain dan ngemall nya sama Lili dan Raisya."

Om Alex tersenyum santai setelah menyeruput secangkir kopi. "Ya ada baiknya juga sih. Anak perempuan jaman sekarang memang harus rajin."

Om Alex beralih menatap kami. "Ayo dimakan. Silahkan dicicipi. Ini semua Lala yang masak loh."

"Ah iya. Sekali lagi terima kasih." sela Mami akhirnya dengan kikuk dan canggung.

Aku memilih diam sejak tadi. Kedatangan kami benar-benar di sambut baik oleh ayah dan ibu Lala. Bahkan saat ini aku bisa merasakan bahwa Lala menatapku dengan berbinar meskipun aku sendiri tidak menggubrisnya sejak tadi.

🎮🎮🎮🎮

Selimut tersibak dengan kasar. Aku membuka kedua mataku. Paduka Papi berkacak pinggang. Seperti biasa. Marah. Marah karena aku paling susah bangun pagi.

"Bangun!"

"Sebentar lagi Paduka Papi."

"Tidak ada! Cepat Rai cepat!" Aku mendengus kesal. Papi sekarang jutek denganku. Ntahlah. Mungkin karena masih marah akibat salah paham waktu itu. Dengan terpaksa aku memposisikan diriku bangun. Lalu aku melirik kearah jam di dinding. Pukul 03.00 pagi. Tatapan ku beralih ke APA?! Kedua mataku membulat seketika. Hawa ngantuk sekarang ntah hilang kemana. Bagaimana tidak bahwa saat ini komputer kesayanganku tidak ada?

"Ada apa?" Papi menatapku sinis.

"Komputerku mana?"

"Di jual. Di kilokan ke pemulung."

"Apa?! Kenapa Papi-"

"Tidak ada lagi main game! Tidak ada lagi kewarnet dan tidak adalagi waktu buat bersantai-santai!"

Papi menatapku tajam. "Papi mau pensiun. Urusan perusahaan akan Papi wariskan padamu. Mamimu butuh Papi apalagi saat ini sedang hamil. Mulai sekarang Papi akan mengajarimu dunia bisnis perusahaan. Usiamu sebentar lagi 18 tahun."

"Ta-tapi-"

"Jangan kalah sama Faisal." Papi menyentil dahiku. Astaga. "Om Fikrimu saja dengan senang hati membimbing Faisal meskipun hanya anak angkat. Om kamu akan membagikan hak warisannya kepada anak kandungnya sendiri dan juga ke Faisal."

Ck, lagi-lagi Faisal. Si kakak kelas yang suka dengan Raisya itu. Bukankah mereka cocok? Yang satu cerewet dan yang satunya si tukang gombal receh?

"Sana ambil air wudhu. Sholat Tahajjud. Setelah itu mengaji. Banyakin dzikir sambil menanti sholat subuh supaya sekolahmu lancar. Pinter. Dan olimpiade matemamatikamu berhasil."

Aku menghempaskan tubuhku dengan kesal di tempat tidur. Papi benar-benar keterlaluan! Padahal aku pintar. Game tidak membuatku bodoh apalagi bermalas-malasan. Tapi.. ya kadang bikin aku bangun siang sih karena bergadang semalaman bermain game. Mungkin itu alasan Papi mengambil komputerku.

"Setelah itu jangan tidur. Segera mandi dan sarapan." Aku tidak ingin melihat Papi lagi sebelum dia kembali menutup pintu kamarku. Pintu tertutup beberapa menit kemudian. Perasaanku tidak enak. Lalu akupun segera membangunkan tubuhku dan membuka pintu lemari sampai akhirnya aku mengepalkan kedua tanganku ketika seperangkat PlayStation, PSP dan kaset CD original PlayStationku ludes diangkut Papi semua.

"Astaga."

🎮🎮🎮🎮

Aku mematikan mesin motorku. Lalu mencabut kuncinya. Ah motor baru. Alhamdulillah. Aku segera melepaskan helmku dan berjalan memasuki sekolah setelah memarkirkan motorku. Bertepatan memasuki koridor. Aku melihat Raisya. Dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu selama beberapa detik. Aku tetap tenang. Mengabaikannya yang sepertinya ingin berbicara padaku.

"Raihan." Benar dugaanku. Aku menghentikan langkahku. Enggan berbalik. Hanya membuang waktu bagiku. Raisya beralih berdiri didepanku.

"Apa?"

"Aku-"

"1 menit."

Raisya tersenyum masam. Lalu ia mengangguk. "Aku minta maaf ya selama ini sudah salah sama kamu. Mungkin kata maaf tidak akan cukup karena aku sudah membuatmu kesal."

"Sangat."

"Dari banyaknya masalah yang menimpaku. Aku bersyukur. Alhamdulillah Allah membuatku sadar."

"Baguslah."

"Cerewet memang sikapku. Tapi aku akan berusaha untuk tidak bersikap seperti itu."

"Moga berhasil."

"Mulai hari ini Mami akan mempercayakanku sebagai tangan kanan di butiknya. Aku berniat untuk mulai menabung sebagai uang ganti rugi atas kehilangan motormu."

"Sayangnya aku gak butuh."

"Tapi aku tulus." Raisya tersenyum ke arahku. Tanpa sengaja aku melihatnya. Bayangan mimpi bibirnya yang ranum itu kembali hadir. Sial.

"Sudah lebih 1 menit." Aku meninggalkannya. Diam terdiam seribu bahasa. Lalu aku menyumpal headset di kedua telingaku.  Tumben sekali dia tidak mengicau dan cerewet? Apakah kepalanya habis terbentur?

"Cuma mau bilang.. Allah saja Maha Pemberi Maaf bagi hambaNya. Terima kasih untuk 1 menitnya."

Dan aku tertegun. Lagu di ponsel memang belum aku putar. Aku mendengarnya. Tapi aku tidak bisa berkata apapun. Ya dia benar. Tapi jika aku memaafkannya apakah dia akan berulah? Ck. Dia itu Raisya. Si biang masalah. Tentu saja sebentar lagi dia akan kambuh.


🎮🎮🎮🎮

Raihan & RaisyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang