(46) Benci (BBC II) <END>

Start from the beginning
                                    

"Kamu tahu kan Vei, kalau Rayhan sangat mencintaimu?" Aku manggut-manggut lemah seraya menjadi pendengar yang baik.

"Memang benar dia sudah seringkali membuatmu kecewa. Dia telah menyakiti hatimu berkali-kali dengan keegoisannya. Tapi apa kamu pernah berpikir bahwa kamu juga sering menyakitinya tanpa sadar? Bukan hanya kamu yang terluka sayang. Rayhan juga sudah banyak berkorban untukmu, nak."

Deeggghhh

Aku tersentak mendengar ulasan ayahku. Mengapa tak pernah terpikirkan dalam benakku hal seperti itu? Spontan aku pun mengangkat kepalaku menatap ayahku sekilas.

Dia kemudian mengulaskan senyumnya lagi, lalu meraih kedua pipiku agar aku tak tertunduk.

"Apa Rayhan sudah bilang kalau selama ini dia selalu memberi kabar pada Papa?"

"Kabar?" Aku menggeleng pelan. "Maksud Papa apa?"

Ayahku melepaskan takupannya pada pipiku setelah melihat ada ketertarikan dalam mataku akan penjelasannya.

Ia kemudian berkata, "Iya anakku. Dia selalu menanyakan kabarmu pada Papa. Bahkan dia juga sempat bilang bahwa dia mungkin tak bisa kembali saat donor hati dalam tubuhnya tiba-tiba mengalami penolakan. Makanya dia terlambat datang bukan? Dia memang merahasiakannya darimu Vei. Dia tidak mau kamu cemas. Dia tidak mau memberimu harapan palsu lagi."

Mulutku sedikit terbuka dengan alis yang terpaut bingung. "Benarkah? Jadi, selama ini...."

"Iya Vei. Jangan-jangan kamu nggak tahu kalau Rayhan datang lima hari yang lalu?"

"Hah? Lima hari yang lalu? Tapi Veily baru bertemu Mas Rayhan kemarin Pa." Keningku semakin berkerut heran.

"Pantas saja dia menanyakan jadwalmu pada Papa. Mungkin dia selama ini hanya memantaumu dari kejauhan."

"Tapi kenapa?"

Ayahku menggeleng dan mengedikkan kedua bahunya tak mengerti.

"Yang pasti, Rayhan bilang ke Papa, dia tak akan kembali sebelum dia benar-benar sembuh total. Jika penyakit itu masih mempunyai akar dalam tubuhnya meski dia sudah sembuh sekalipun. Maka dia akan mengikhlaskan cintanya untuk lelaki lain. Dia tak ingin mengambil risiko mempertaruhkanmu dengan penyakit yang mungkin saja bisa kembali lagi. Dia memikirkan masa depan kalian saat sudah menikah nanti. Seperti Papa yang selalu mencemaskanmu karena takut kamu mempunyai riwayat penyakit yang sama seperti mamamu."

Degghhh

Mataku mulai berkaca-kaca mendengar penuturannya. Beliau kemudian mengambil napas sejenak lalu melanjutkan ucapannya dengan penuh penekanan, "Rayhan egois juga demi kebahagiaanmu, Vei. Dia melakukan semua yang dia mampu hanya demi kamu. Karena dia merasa tak sempurna. Dia hanya ingin menjauhkanmu dari rasa sakit. Meski tanpa sadar hal yang dilakukannya itu pun menimbulkan rasa sakit."

Jessss

Kata-kata ayahku begitu ampuh menghujam jantungku. Tubuhku melemas seketika. Mataku yang sudah memerah sejak tadi, kini mengeluarkan bulir bening yang menggenang pada kelopak mataku dengan derasnya.

Bersama hal itu aku tercekat, dadaku merasakan sesak yang luar biasa. Seolah tertusuk ribuan panah, hatiku hancur berkeping-keping merasakan sakit beserta penyesalan.

"Pa. Kenapa Papa baru bilang itu sama Veily? Kenapa Papa baru menasehati Veily sekarang? Ini sudah terlambat Pa. Veily sudah melakukan hal bodoh. Veily sudah jahat sama Mas Rayhan. Kenapa Papa nggak cegah lebih awal?" Aku pun merutuki diriku-sendiri sembari menangis menatap ayahku marah.

"Papa kira Rayhan sudah mengatakannya padamu. Bukankah dia bilang sudah menjelaskannya?"

"Enggak Pa. Dia nggak bilang itu ke Veily." Aku mulai terisak. Tanganku pun reflek menepuk-nepuk dadaku yang sesak karena rasanya sangat sulit untuk bernapas.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now